Oleh : CHE HUDA

Oleh  : CHE HUDA

Jumat, 14 Januari 2011

PETA ANSOS

                                                                                                       
Prawacana
Sebelum dibahas lebih lanjut pada bagian-bagian berikutnya mengenai berbagai aliran ideologi dan keyakinan serta teori tentang perubahan sosial dan kritik pembangunan, maka terlebih dahulu dalam bagian ini diuraikan dan dijelas­kan mengenai apa latar belakang yang mempengaruhi ter­bentuknya teori-teori tersebut. Salah satu dari banyak hal yang sangat mempengaruhi dan membentuk suatu teori adalah apa yang dikenal dengan istilah paradigma (paradigm). Untuk itu uraian pada bagian kedua buku ini akan memfokuskan pem­bahasan untuk memahami apa yang sesungguhnya dimaksud dengan paradigma, mengapa dan bagaimana suatu paradigma terbentuk, serta apa pengaruh paradigma terhadap terbentuk­nya teori-teori perubahan sosial dan praktik pembangunan. Pembahasan mengenai masalah paradigma ini perlu dilakukan mengingat pentingnya paradigma dalam membentuk dan mempengaruhi teori maupun analisis seseorang. Pada dasarnya tidak ada suatu pandangan atau teori sosial pun yang bersifat netral dan objektif, melainkan salah satunya ber­gantung pada paradigma yang dipergunakan. Namun, sebelum melangkah lebih lanjut, uraian ini akan dimulai dengan menjawab pertanyaan dasar apa sesungguhnya yang dimaksud dengan paradigma itu?
Sebagaimana diuraikan Mansour Faqih[1], paradigma secara sederhana dapat diartikan bagai kacamata atau alat pandang. Namun, pengertian yang lebih akademis dapat dipahami dari beberapa pemikiran yang akan diuraikan berikut. Pada dasarnya, istilah paradigma menjadi sangat terkenal justru setelah Thomas Khun menulis karyanya yang berjudul The Structure of Scientific Revolution. Dalam buku itu Khun menjelaskan tentang model bagaimana suatu aliran teori ilmu lahir dan berkembang menurutnya disiplin ilmu lahir sebagai proses revolusi paradigma, di mana suatu pandangan teori ditumbangkan oleh pandangan teori yang lain. Paradigma diartikan sebagai satu kerangka referensi atau pandangan dunia yang menjadi dasar keyakinan atau pijakan suatu teori. Berkembangnya suatu paradigma erat kaitannya dengan seberapa jauh suatu paradigma mampu melakukan konsolidasi dan mendapat dukungan dari berbagai usaha seperti penelitian, penerbitan, pengembangan, dan penerapan kurikulum oleh masyarakat ilmiah pendukungnya. Oleh karena itu, untuk memahami berkembang maupun runtuh­nya suatu teori perubahan sosial dan pembangunan erat kaitan­nya dengan persoalan yang dihadapi oleh paradigma masing-­masing yang menjadi landasan teori tersebut.
Selain Khun, peneliti pemikir lain seperti Patton (1975) juga memberikan pengertian paradigma yang tidak jauh dengan apa yang didefinisikan oleh Khun, yakni sebagai "a world view, a general perspective, a way of breaking down the complexity of the real world"[2] Dengan demikian, dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa yang dimaksud paradigma adalah konstelasi teori, pertanyaan, pendekatan, selain dipergunakan oleh suatu nilai dan tema pemikiran. Konstelasi ini dikembangkan dalam rangka memahami kondisi sejarah dan keadaan sosial, untuk memberikan kerangka konsepsi dalam memberi makna realitas sosial.[3] Paradigma merupakan tempat kita berpijak dalam melihat suatu realitas. Justru ke­kuatan sebuah paradigma terletak pada kemampuannya mem­bentuk apa yang kita lihat, bagaimana cara kita melihat se­suatu, apa yang kita anggap masalah, apa masalah yang kita anggap bermanfaat untuk dipecahkan serta apa metode yang kita gunakan dalam meneliti dan berbuat. Paradigma, sebalik­nya, mempengaruhi apa yang tidak kita pilih, tidak ingin kita lihat, dan tidak ingin kita ketahui.[4] Oleh karena itu, jika ada dua orang melihat suatu realitas sosial yang sama, atau mem­baca ayat dari sebuah kitab suci yang sama, akan menghasil­kan pandangan berbeda, menjatuhkan penilaian dan sikap yang berbeda pula. Paradigma pulalah yang akan mempenga­ruhi pandangan seseorang tentang apa yang "adil dan yang tidak adil", bahkan paradigma mempengaruhi pandangan seseorang ataupun teori tentang baik buruknya suatu program kegiatan. Misalnya saja hubungan lelaki prempuan pada suatu masyarakat, atau hubungan antara majikan dan buruh, oleh suatu paradigma pemikiran disebutkan sebagai "harmonis saling membantu" dan tidak ada masalah, oleh paradigma yang lain, akan dilihat sebagai hubungan hegemonik, dominasi gender ataupun bahkan dianggap eksploitatif. Dalam hal perbedaan paradigma seperti itu, tidak relevan membicarakan siapa yang salah dan siapa yang benar, karena masing-masing menggunakan alasan, nilai, semangat, dan visi yang berbeda tentang fenomena tersebut.
Oleh karena itu, dominasi suatu paradigma terhadap paradigma yang lain sesungguhnya bukanlah karena urusan "salah atau benar, yakni yang benar akan memenangkan paradigma yang lain. Ritzer (1975) mengungkapkan bahwa kemenangan satu paradigma atas paradigma yang lain lebih disebabkan karena para pendukung paradigma yang menang ini lebih memiliki kekuatan dan kekuasaan (power) dari peng­ikut paradigma yang dikalahkan, dan sekali lagi bukan karena paradigma yang menang tersebut lebih benar atau 'lebih baik dari yang dikalahkan".[5] Demikian halnya dalam memahami dipilihnya atau diterapkannya suatu aliran teori perubahan sosial maupun pembangunan juga erat kaitannya dengan kekuasaan penganut paradigma perubahan sosial yang ber­sangkutan untuk memenangkannya. Dengan demikian, domi­nasi atau berkuasanya suatu teori perubahan sosial ataupun teori pembangunan, adalah lebih karena teori tersebut yang merupakan hasil atau dibentuk oleh suatu paradigma tertentu, ada kaitannya dengan kekuatan dan kekuasaan bagi penganut teori tersebut, dan tidak ada sangkut-pautnya dengan kebenar­an teori tersebut. Lantas pertanyaannya mengapa dan bagai­mana kita harus memilih satu paradigma atau teori perubahan sosial tertentu?
Meskipun penjelasan Kuhn sangat bermanfaat untuk memahami bagaimana paradigma mempengaruhi tercipta­nya teori, tetapi penjelasan Kuhn tentang proses pergantian paradigma menurutnya berjalan secara revolusioner. Dengan kata lain, bergantinya suatu paradigma melalui pergantian, paradigma lama mati dan diganti oleh paradigma baru. Pen­jelasan mengenai pergantian paradigma ini sudah banyak dibantah orang. Dalam kenyataannya telah terjadi berbagai fenomena yang tidak dibayangkan oleh Kuhn dalam teorinya. Pertama telah terjadi pluralitas dan konvergensi teori. Kuhn berpendapat bahwa paradigma akan selalu menggantikan posisi paradigma lama, dan jika tidak, para ilmuwan tidak memiliki kerangka kerja yang mapan. Dalam ilmu alam, pandangan seperti ini memang terjadi. Namun, dalam per­kembangan ilmu-ilmu sosial menunjukkan kecenderungan se­makin menguatnya pertikaian antar paradigma, atau bahkan terjadi dialog antara dua paradigma atau lebih pada era yang sama. Bahkan, proses teori pada dasarnya adalah terjadinya saling dialog antar teori dan proses kemampuan teori untuk menyesuaikan diri. Marxisme, misalnya, telah berkembang setelah berdialog dengan semakin canggihnya kapitalisme. Sebaliknya, terjadi penguatan gejala dimana teori-teori sosial yang bersandar pada keyakinan kapitalisme berkembang ke arah penyesuaian diri terhadap kritik. Dalam perkembangan Marxisme, misalnya, perkembangan dan kritik interen terhadap praktik perkembangannya, hal ini menghasilkan masuknya analisis hegemoni kultur dan ideologi dalam Marxisme, se­suatu yang membuat analisis Marxisme saat ini telah bergeser dari pikiran Marx pertama kali yang lebih memfokuskan pada analisis ekonomi. Demikian halnya maraknya perkembangan teologi pembebasan (liberation theology) di Amerika Latin dan tempat-tempat lain adalah suatu adaptasi akibat dari suatu dialog paradigma. Demikian halnya, perkembangan paham dan teori kapitalisme dalam perkembangannya hingga se­perti saat ini justru belajar dan mendapat keuntungan dari kritik yang dilakukan oleh teori Marxisme. Kapitalisme sesungguhnya banyak belajar dan menyesuaikan diri karena mendapat kritikan dari Marxisme.
Namun, pertanyaan yang lebih mendasar adalah apa manfaat dan sikap yang diperlukan dalam memahami para­digma sosial. Pada dasarnya memahami paradigma dan teori perubahan sosial seharusnya tidak sekedar untuk mempelajari dan memahaminya. Suatu teori ataupun paradigma dipelajari dan dipahami dalam rangka menegakkan komitmen untuk suatu proses emansipasi, keadilan sosial dan transformasi sosial. Persoalan pilihan terhadap pardigma dan teori per­ubahan sosial maupun teori pembangunan pada dasarnya bukanlah karena alasan benar dan salahnya teori tersebut, pilihan suatu teori lebih karena dikaitkan dengan persoalan mana teori yang akan berakibat pada penciptaan emansipasi dan penciptaan hubungan-hubungan dan struktur yang secara mendasar lebih baik. Oleh karena itu, memilih paradigma dan teori perubahan sosial adalah suatu pemihakan dan ber­dasarkan nilai-nilai tertentu yang dianut. Pertanyaan yang penting diajukan di sini adalah siapa dan dengan tujuan apa sesungguhnya kegiatan dan aksi kita diabdikan? Masalah siapa yang ingin kita pecahkan melalui aksi dan program kegiatan kita? Jadi, masalahnya bukanlah apakah kita harus memihak, karena pemihakan adalah mustahil untuk dapat dihindarkan bagi semua teori perubahan sosial dan teori pembangunan, tetapi masalahnya adalah kepada siapa atau kepada apa pe­mihakan tersebut diabdikan.[6] Untuk menjawab persoalan ini, diperlukan pemahaman paradigma sosiologi yang menjadi kacamata dan dasar bertindak dibalik setiap teori perubahan sosial maupun pembangunan.

BAGIAN I
Paradigma-paradigma Ilmu-ilmu Sosial
Untuk memberikan bingkai bagaimana memahami teori perubahan sosial, termasuk di dalamnya teori pembangunan, kita perlu mengenal peta paradigma dalam ilmu sosial. Ada beberapa peta pendekatan yang telah dihasilkan oleh para ahli ilmu sosial. Dalam rangka itu, berikut diuraikan beberapa model paradigma dalam melihat masalah sosial. Pertama adalah model pemetaan paradigma sosial yang diuraikan oleh salah seorang penganut mazhab Frankfurt, terutama Jurgen Habermas. Model pembagian paradigma kedua adalah dengan mengikuti tokoh pemikir pendidikan kritis asal Brazil, Paulo Freire. Sedangkan model ketiga adalah peta paradigma sosio­logi yang dibuat oleh Barnel dan Morgan (1979).

Ilmu Sosial Paradigma Dominatif Lawan Emansipatoris
Meminjam analisis Habermas yang secara sederhana membagi paradigma ilmu-ilmu sosial menjadi tiga paradigma, dapat digunakan untuk memahami suatu sudut perbedaan paradigma dalam ilmu-ilmu sosial. Habermas pada dasarnya membagi paradigma ilmu sosial dalam pembagian yang se­cara sederhana dapat dipahami sebagai berikut. Menurutnya ilmu sosial dapat dibedakan menjadi tiga paradigma yang dapat secara sederhana diuraikan sebagai berikut;
Pertama, yang disebutnya sebagai instrumental knowledge. Dalam perspektif paradigma 'instrumental' ini, pengetahuan lebih dimaksudkan untuk menaklukkan dan mendominasi objek­nya. Yang dimaksud Habermas dengan paradigma pengetahuan instrumental ini sesungguhnya adalah paradigma positivisme. Positivisme pada dasarnya adalah ilmu sosial yang dipinjam dari pandangan, metode, dan teknik ilmu alam dalam memahami realitas. Positivisme adalah aliran filsafat yang berakar pada tradisi ilmu sosial yang dikembangkan dengan mengambil cara ilmu alam menguasai benda, yakni dengan kepercayaan adanya universalisme dan generalisasi, melalui metode determinasi, fixed law atau kumpulan hukum teori (Schoyer, 1973). Positivisme berasumsi bahwa penjelasan sifat universal, artinya cocok atau appropriate untuk semua, kapan saja, di mana saja suatu fenomena sosial. Oleh karena itu, mereka percaya babwa riset sosial harus didekati dengan metode ilmiah, yakni obyektivitas, netral, dan bebas nilai. Pengetahuan selalu menganut hukum ilmiah yang ber­sifat universal, prosedur harus dikuantifikasi dan diverifikasi dengan metode scientific atau ilmiah. Dengan kata lain, positivisme mensyaratkan pemisahan fakta dan nilai (values) dalam rangka menuju pemahaman objektif atas realitas sosial.
Sebutan "kaum positivist" berkesan sentimen dan me­rupakan diskursus yang di dalamnya memuat suatu strategi daripada mengacu pada pengertian bahasa yang mendalam dan bermanfaat untuk menjelaskan kata positif lawan yang negatif dari konsep itu. Istilah itu digunakan untuk mengacu pada suatu sikap dan pendirian epistemologis tertentu. Positivisme sering dicampur-adukkan dengan 'empirisme' sehingga membuat rancu beberapa pengertian pokoknya. Pendirian epistemologis kaum positivis kalau ditelaah lebih dalam didasarkan pada pendekatan yang digunakan dalam "ilmu alam," atau dengan kata lain, lebih jelas dapat dikatakan bahwa ilmu sosial positivistik, pada dasamya meminjam cara, metodologi, sikap dan visi bagaimana ilmu alam menghadapi objek studi mereka yakni benda dan fenomena alam. Per­bedaan utamanya terletak pada istilah yang digunakan dan objek yang dihadapi. Dalam ilmu alam objeknya adalah benda dan fenomena alam, sedangkan positivisme memberlakukan masyarakat atau manusia seperti ilmu alam memperlakukan benda dan fenomen alam. Tatanan sosial dapat dibuktikan kebenarannya melalui penelitian eksperimental, atau laborato­rium, meskipun sering terjadi hipotesis keliru yang tak pernah dapat dibuktikan kebenarannya. Kaum verifikasionis (membuktikan kebenaran, dan falsifikasionis (membuktikan kekeliruan) hipotesis tentang tatanan sosial, sependapat bahwa pengetahuan hakikatnya merupakan proses akumulasi di mana pemahaman baru diperoleh sebagai tambahan atas kumpu­Ian pengetahuan atau penghapusan atas hipotesis salah yang pernah ada.
Dengan pendekatan seperti itu, ilmu sosial dengan para­digma positivisme lebih mensyaratkan sikap-sikap tertentu yang tercermin dalam metodologi dan teknik kajian mereka. Di antara banyak sikap yang kemudian disebutkan sebagai sikap "ilmiah" tersebut adalah bahwa ilmu sosial dan peneliti­an sosial haruslah bersikap netral dan tidak memihak. Selain itu, ilmu sosial bagi paradigma positivisme juga tidak boleh bersifat subjektif, melainkan harus objektif, rasional, tidak boleh emosional, komitmen dan empati. Ilmu sosial juga harus mampu menjaga jarak (detachment) terhadap objek studi dan hasil kajian, bersikap universal, dapat diterapkan di mana saja dan kapan saja.
Untuk memahami lebih lanjut pendirian paradigma positivisme, kita dapat memahaminya melalui pendirian teori­-teori anti-positivisme. Meskipun epistemologis kaum antipositivis beragam jenisnya, semuanya tidak menerima berlakunya kaidah-kaidah universalitas, bahwa yang terjadi pada suatu tatanan sosial tertentu tidak secara serta merta akan berlaku pada semua tatanan atau peristiwa sosial. Realitas sosial adalah nisbi, hanya dapat dipahami dari pandangan orang per orang yang langsung terlibat dalam peristiwa sosial tertentu. Mereka menolak kedudukan sebagai 'peneliti dan pengamat' atau pengembang masyarakat ahli luar seperti layaknya keduduk­an kaum positivis. Seorang hanya bisa "mengerti" dengan 'memasuki' kerangka pikir orang yang terlibat langsung atau diri mereka sendiri sebagai peserta atau pelaku dalam tindakan. Seseorang hanya mengerti dari sisi dalam, bukan dari luar realitas sosial, betapa pun ahlinya karena ilmu sosial bersifat subjektif, dan menolak anggapan bahwa ilmu pengetahuan dapat ditemukan sebagai pengetahuan objektif.
Kalau kita pelajari secara mendalam, sesungguhnya ada dua tradisi pemikiran besar yang mewamai perkembangan ilmu dan analisis sosial selama lebih dari dua ratus tahun terakhir, yakni pertikaian antara postivisme dan idealisme Jerman. Aliran ini mewakili pandangan yang berusaha menerapkan cara dan bentuk penelitian alam ke dalam pengkajian peristiwa kemanusiaan. Realitas sosial disamakan dengan realitas alam. Dengan meniru kaum realis dalam ontologinya, epistimologi kaum positivis, pandangan deterministik menge­nai sifat manusia dan nomotetis metodologinya. Sementara itu, lawannya adalah tradisi "idealisme Jerman". Aliran ini menyatakan bahwa realitas tertinggi bukan kenyataan lahir yang dapat dilihat indera, tetapi justru pada "ruh" atau gagas­an". Oleh karena itu epistiomologi mereka anti-positivis di mana sifat subjektivitas dari peristiwa kemanusiaan lebih penting dan menolak cara dan bentuk penelitian ilmu alam.
Kedua, adalah paradigma interpretative. Latar belakang perkembangan paradigma interpretatif ini dapat ditelusuri dari pergumulan dalam teori ilmu sosial sebelum tahun 1970 ketika telah mulai berkembang suatu tradisi besar terutama di bidang filsafat sosial dengan munculnya fenomenologi, etnometodologi dan teori-teori aksi. Aliran-aliran filsafat sosial ini selain menyatakan pendiriannya sendiri sering juga menentang aliran sosiologi positivisme. Aliran-aliran ini dapat dipahami dengan baik dengan mengenali perbedaan-perbeda­an anggapan dasarnya masing-masing. Aliran hermeneutic knowledge atau juga dikenal dengan paradigma interpretative, secara sederhana dapat dijelaskan bahwa pengetahuan dan khususnya ilmu-ilmu sosial dan penelitian sosial dalam para­digma ini 'hanya' dimaksud untuk memahami secara sungguh-­sungguh. Dasar filsafat paradigma interpretative adalah phenom­enology dan hermeneutics, yaitu tradisi filsafat yang lebih menekankan minat yang besar untuk memahami. Semboyan yang terkenal dari tradisi ini adalah "biarkan fakta bicara atas nama dirinya sendiri". Namun dalam paradigma ini penge­tahuan tidak dimaksudkan sebagai proses yang membebas­kan. Misalnya saja yang termasuk dalam paradigma ini adalah ethnography dalam tradisi kalangan antropolog.
Ketiga, adalah paradigma yang disebut sebagai "paradigma kritik" atau critical/ emancipatory knowledge. Ilmu sosial dalam paradigma ini lebih dipahami sebagai proses katalisasi untuk membebaskan manusia dari segenap ketidakadilan. Melalui kritik yang mendasar terhadap ilmu sosial yang mendominasi (instrumental knowledge), paradigma kritis ini menganjurkan bahwa ilmu pengetahuan terutama ilmu-ilmu sosial tidak boleh dan tidak mungkin bersifat netral. Paradigma kritis memperjuangkan pendekatan yang bersifat holistik, serta menghindari cara berpikir deterministik dan reduksionistik. Oleh sebab itu, mereka selalu melihat realitas sosial dalam perspektif kesejarahan. Paradigma kritis tidak hanya terlibat dalam teori yang spekulatif atau abstrak, tetapi lebih dikaitkan dengan pemihakan dan upaya emansipasi masyarakat dalam pengalaman kehidupan mereka sehari-hari.
Implikasi dari kritik paradigma ini terhadap positivisme menyadarkan kita akan perlunya perenungan tentang morali­tas ilmu dan penelitian sosial. Oleh karena teori dan penelitian sosial begitu berpengaruh terhadap praktik perubahan sosial seperti program pembangunan, maka paradigma ilmu dan penelitian sosial adalah faktor penting yang menentukan arah perubahan sosial. ltulah mengapa paradigma kritik selalu mempertanyakan "mengapa rakyat dalam perubahan sosial" selalu diletakkan sebagai passive objects untuk diteliti, dan selalu menjadi objek "rekayasa sosial" bagi penganut positivisme. Positivisme percaya bahwa rakyat tidak mampu memecahkan masalah mereka sendiri. Perubahan sosial harus didesain oleh ahli, perencana yang bukan rakyat, kemudian dilaksanakan oleh para teknisi. Rakyat dalam hal ini dilihat sebagai masalah dan hanya para ahli yang berhak untuk memecahkannya.
Sebaliknya, pandangan paradigma kritik justru menem­patkan rakyat sebagai subjek utama perubahan sosial. Rakyat harus diletakkan sebagai pusat proses perubahan dan pen­ciptaan maupun dalam mengontrol pengetahuan mereka. Inilah yang menjadi dasar sumbangan teoretik terhadap perkembangan participatory research. Kritik terhadap positivisme dilontarkan karena pengetahuan tersebut menciptakan dominasi yang irasional dalam masyarakat modern. Ilmu sosial harus mampu memungkinkan setiap orang untuk memberikan partisipasi dan kontribusinya. Pemikiran tersebut mempenga­ruhi arah ilmu sosial kritis yang menekankan pentingnya subjektivitas manusia, pemihakan dan kesadaran dalam proses membangun teori. Paradigma kritis inilah yang memberikan legitimasi terhadap ilmu sosial pembebasan, yang tadinya dianggap 'tidak ilmiah' tersebut. ltulah sebabnya paradigma kritik sekaligus merupakan kritik terhadap paradigma domi­nasi dan interpretasi.
Dengan kerangka peta pembagian paradigma seperti itu, kita dapat memahami dan menyadari segenap perkembangan, asumsi, dan konflik antar berbagai teori perubahan sosial dan kritik terhadap teori-teori pembangunan yang menjadi fokus utama pembahasan-pembahasan dalam berbagai uraian pada bagian-bagian berikutnya.

Dari Paradigma Reformasi ke Transformasi: Peta Kesadaran Freire
Arena perbedaan paradigma yang lain yang juga berpenga­ruh dalam perkembangan dan kajian teori perubahan sosial dan teori pembangunan adalah dengan meminjam pembagian paradigma yang dikembangkan oleh Paulo Freire. Ketika Freire (1970) menerbitkan buku Pedagogy of the Oppressed yang pertama kali diterbitkan dalam bahasa Inggris tahun 1970, umumnya orang menyangka bahwa ia sedang melakukan kritik terhadap dunia pendidikan. Namun, dengan membaca karya Freire lainnya, terutama mendengar dialognya dengan tokoh social movement Amerika Serikat, Miles Horton, yang dibukukan dengan judul We Making the Road by Walking (1990), orang baru sadar bahwa Freire sedang berbicara soal yang lebih luas dari dunia pendidikan yakni mengenai para­digma perubahan sosial. Dia mengakui sangat dipengaruhi oleh Gramsci, seorang pemikir kebudayaan yang radikal yang pertama kali mengupas bahwa sesungguhnya peperangan yang terpenting pada abad modern ini adalah ideologi, yang disebutnya sebagai proses 'hegemony'. Dari situlah orang baru menyadari bahwa Freire sedang membicarakan pendidikan dalam kaitannya dengan struktur dan sistem budaya, ekonomi, dan politik yang lebih luas.
Tugas teori sosial menurut Freire adalah melakukan apa yang disebutnya sebagai conscientizacao atau proses penyadaran terhadap sistem dan struktur yang menindas, yakni suatu sistem dan struktur. Proses dehumanisasi yang membunuh kemanusiaan. Gramsci menyebut proses ini sebagai upaya counter hegemony. Proses dehumaniasi tersebut terselenggara melalui mekanisme kekerasan, baik yang fisik dan dipaksakan, maupun melalui cara penjinakan yang halus, yang keduanya bersifat struktural dan sistemik. Artinya kekerasan dehuma­nisasi tidak selalu berbentuk jelas dan mudah dikenali. Kemiskinan struktural, misalnya, pada dasarnya adalah suatu bentuk kekerasan yang memerlukan analisis untuk menya­darinya. Bahkan, kekerasan sebagian besar terselenggara melalui proses hegemoni: cara pandang, cara berfikir, ideologi, kebudayaan, bahkan selera, golongan yang mendominasi telah dipengaruhkan dan diterima oleh golongan yang didomi­nasi. Dengan begitu, pendidikan dan ilmu pengetahuan, sebagaimana kesenian, bukanlah arena netral tentang estetika belaka. Kesenian dan kebudayaan tidaklah berada dalam ruang dan masa yang steril, melainkan dalam sistem dan struk­tur yang bersifat hegemonik.
Freire (1970) membagi ideologi teori sosial dalam tiga kerangka besar yang didasarkan pada pandangannya terhadap tingkat kesadaran masyarakat.[7] Tema pokok gagasan Freire pada dasarnya mengacu pada suatu landasan bahwa pendidik­an adalah "proses memanusiakan manusia kembali". Gagasan ini berangkat dari suatu analisis bahwa sistem kehidupan sosial, politik, ekonomi, dan budaya masyarakat, menjadikan masyarakat mengalami proses 'dehumanisasi'. Pendidikan, sebagai bagian dari sistem masyarakat, justru menjadi pelanggeng proses dehumanisasi tersebut. Secara lebih rinci Freire men­jelaskan proses dehumanisasi tersebut dengan menganalisis tentang kesadaran atau pandangan hidup masyarakat terhadap diri mereka sendiri. Freire menggolongkan kesadaran manusia menjadi: kesadaran magis (magical consciousnees), kesadaran naif (naival consciousnees) dan kesadaran kritis (critical consciousness). Bagaimana kesadaran tersebut dan kaitannya dengan sistem pendidikan dapat secara sederhana diuraikan sebagai berikut.[8]
Pertama, kesadaran magis, yakni suatu keadaan kesadaran, suatu teori perubahan sosial yang tidak mampu mengetahui hubungan atau kaitan antara satu faktor dengan faktor lainnya. Misalnya saja suatu teori yang percaya akan adanya masyara­kat miskin yang tidak mampu, kaitan kemiskinan mereka dengan sistem politik dan kebudayaan. Kesadaran magis lebih mengarahkan penyebab masalah dan ketakberdayaan masya­rakat dengan faktor-faktor di luar manusia, baik natural maupun super natural. Dalam teori perubahan sosial jika proses analisis teori tersebut tidak mampu mengaitkan antara sebab dan musabab suatu masalah sosial, proses analisis teori sosial tersebut dalam perspektif Freirean disebut sebagai teori sosial fatalistik. Suatu teori sosial bisa dikategorikan dalam model pertama ini jika teori yang dimaksud tidak memberikan kemampuan analisis, kaitan antara sistem dan struktur ter­hadap satu permasalahan masyarakat. Masyarakat secara dogmatik menerima 'kebenaran' dari teoretisi sosial tanpa ada mekanisme untuk memahami 'makna' ideologi setiap kon­sepsi atas kehidupan masyarakat.
Yang kedua adalah apa yang disebutnya sebagai "Kesadaran Naif". Keadaan yang dikategorikan dalam kesadaran ini adalah lebih melihat 'aspek manusia' sebagai akar penyebab masalah masyarakat. Dalam kesadaran ini 'masalah etika, kreativitas, 'need for achievement' dianggap sebagai penentu dalam perubahan sosial. Jadi, dalam menganalisis mengapa suatu masyarakat miskin, bagi analisis kesadaran ini, adalah disebabkan oleh kesalahan masyarakat sendiri, yakni mereka malas, tidak memiliki jiwa kewiraswastaan, atau tidak memiliki budaya 'pembangunan', dan seterusnya.[9] Oleh karena itu, man power development adalah sesuatu yang diharapkan, akan menjadi pemicu perubahan. Teori perubahan sosial dalam konteks ini berarti suatu teori yang tidak memper­tanyakan sistem dan struktur, bahkan sistem dan struktur yang ada dianggap sudah baik dan benar, merupakan faktor given dan, oleh sebab itu, tidak perlu dipertanyakan. Tugas teori sosial adalah bagaimana membuat dan mengarahkan agar masyarakat bisa beradaptasi dengan sistem yang sudah benar tersebut. Paradigma inilah yang dikategorikan sebagai paradigma perubahan yang bersifat reformatif dan bukanlah paham perubahan yang bersifat transformatif.
Kesadaran ketiga adalah yang disebut sebagai kesadaran kritis. Kesadaran ini lebih melihat aspek sistem dan struktur sebagai sumber masalah. Pendekatan struktural menghindari blaming the victims dan lebih menganalisis secara kritis struktur dan sistem sosial, politik, ekonomi dan budaya dan bagaimana kaitan tersebut berakibat pada keadaan masyarakat. Para­digma kritis dalam teori perubahan sosial memberikan ruang bagi masyarakat untuk mampu mengidentifikasi 'ketidakadilan' dalam sistem dan struktur yang ada, kemudian mampu melakukan analisis bagaimana sistem dan struktur itu bekerja, serta bagaimana mentransformasikannya. Tugas teori sosial dalam paradigma kritis adalah menciptakan ruang dan kesem­patan agar masyarakat terlibat dalam suatu proses dialog "pen­ciptaan struktur yang secara fundamental baru dan lebih baik atau lebih adil". Kesadaran ini pula yang disebut sebagai ke­sadaran transformatif.

Diagram 1
Peta analisis kesadaran masyarakat, Paulo Freire (1970)

KESADARAN MAGIS
KESADARAN NAIF
KESADARAN KRITIS
Magical
Consciousness
Naival
Consciousness
Critical
Consciousness
Perubahan sosial ditentukan oleh:
NATURAL,
SUPERNATURAL
Perubahan sosial ditentukan oleh:
ETIKA, KREATIFITAS, NEED FOR ACHIEVEMENT
Perubahan sosial ditentukan oleh:
SISTEM SOSIAL, EKONOMI, POLITIK & BUDAYA
Berimplikasi pada:
Kesadaran Fatalistik
Berimplikasi pada:
Kesadaran Reformatif
Berimplikasi pada:
Kesadaran Transformatif

Dengan menggunakan paradigma yang dikembangkan Freire ini membantu kita untuk dapat memahami bagaimana logika berbagai teori sosial yang akan dibahas dikembangkan. Dengan demikian, teori modernisasi dan pembangunan serta berbagai teori pendukung setelahnya dalam epistimologi, atau menurut paradigma kesadaran Freire dapat digolongkan dalam kesadaran naif, karena bukan struktur yang lebih di­persoalkan melainkan manusianya dan oleh karenanya bersifat reformatif. Sementara itu, paradigma dan teori perubahan sosial kritik yang dibahas dalam bab berikutnya dalam pers­pektif Freire dapat digolongkan dalam kesadaran kritis dan merupakan proses perubahan sosial menuju lebih adil yang bersifat transformatif.
Uraian pembagian peta paradigma yang dipinjam dari analisis Freire tersebut, selain dapat digunakan sebagai pisau analisis untuk memahami dan memetakan teori-teori per­ubahan sosial dan teori-teori pembangunan, peta paradigma tersebut juga sangat berpengaruh terhadap para praktisi pengembangan masyarakat ataupun pemberdayaan masya­rakat di akar rumput. Banyak praktisi pembangunan dalam berhadapan maupun mengembangkan program-programnya di masyarakat dipengaruhi oleh jenis kesadaran yang men­dominasi pemikiran dan analisis para praktisi sehingga sangat berpengaruh terhadap pendekatan maupun metodologi program mereka. Para praktisi pengembangan masyarakat yang mengembangkan program "pemberdayaan masyarakat", tetapi dalam melakukan analisis terhadap "masalah kemiskin­an" masyarakat bersandar pada analisis kesadaran naif dan reformatif, akan melahirkan program yang berbeda dengan jika mereka dipengaruhi oleh analisis yang bersandar pada kesadaran kritis untuk transformasi sosial.

Paradigma-paradigma Sosiologi
Untuk lebih mempertajam pemahaman dan seluk-beluk peta paradigma yang dapat digunakan untuk memahami teori-­teori perubahan sosial dan teori pembangunan, maka perIu juga kita memetakan secara lebih luas paradigma dalam ilmu sosiologi. Untuk itu dalam bagian ini dikemukakan dan disaji­kan peta paradigma sosiologi yang dikembangkan oleh Burnell dan Morgan (1979). Burnell dan Morgan membuat suatu pemetaan paradigma sosiologi yang dapat membantu kita untuk memahami 'cara pandang' berbagai aliran dan teori ilmu-ilmu sosial. Mereka membantu memecahkan sumber utama keruwetan peta teori ilmu sosial dengan mengajukan peta filsafat dan teori sosial.[10] Secara sederhana mereka mengelompokkan teori sosial ke dalam empat kunci paradigma. Empat paradigma itu dibangun atas pandangan yang berbeda mengenai dunia sosial. Masing-masing pendirian dalam kebenarannya dan melahirkan analisis tentang kehidupan sosial. Sejak tahun 1960-an sesungguhnya telah muncul berbagai aliran pemikiran sosiologi yang dalam perkembangannya justru tidak membantu untuk memperjelas peta paradigma sosiologi. Namun pada awal tahun 1970-an terjadi kebutuhan dalam perdebatan sosiologi mengenai sifat ilmu sosial dan sifat masyarakat seperti halnya terjadi pada tahun 1960-an. Untuk memecahkan kebuntuan itu mereka usulkan untuk menggunakan kembali unsur penting dari perdebatan 1960-an, yakni cara baru dalam menganalisis empat paradigma so­siologi yang berbeda. Empat paradigma itu ialah: Humanis Radikal, srukturalis radikal, interpretatif dan Fungsionalis. Ke­empat paradigma itu satu dengan yang lain memiliki pendirian masing-masing, karena memang memiliki dasar pemikiran yang secara mendasar berbeda.
Sifat dan kegunaan empat paradigma tersebut adalah selain untuk memahami dan menganalisis suatu praktik sosial, juga untuk memahami ideologi dibalik suatu teori sosial. Paradigma sebagai anggapan-anggapan meta-teoretis yang mendasar yang menentukan kerangka berpikir, asumsi dan cara bekerjanya teori sosial yang menggunakannya. Di dalam­nya tersirat kesamaan pandangan yang mengikat sekelompok penganut teori mengenai cara pandang dan cara kerja dan batas-batas pengertian yang sama pula. Jika ilmuwan sosial menggunakan paradigma tertentu, berarti memandang dunia dalam satu cara yang tertentu pula. Peta yang digunakan di sini adalah menempatkan empat pandangan yang berbeda mengenai sifat ilmu sosial dan sifat masyarakat yang didasar­kan pada anggapan-anggapan meta-teoretis. Empat paradigma itu merupakan cara mengelompokkan kerangka berpikir sese­orang dalam suatu teori sosial dan merupakan alat untuk memahami mengapa pandangan-pandangan dan teori-teori tertentu dapat lebih menampilkan sentuhan pribadi dibanding yang lain. Demikian juga alat untuk memetakan perjalanan pemikiran teori sosial seseorang terhadap persoalan sosial. Perpindahan paradigma sangat dimungkinkan terjadi, dan hal ini sama bobotnya dengan pindah agama. Misalnya, apa yang pernah terjadi pada Karl Marx yang dikenal Marx tua dan Marx muda, yakni perpindahan dari humanis radikal ke strukturalis radikal Perpindahan ini disebut epistemological break.



Paradigma Fungsionalis
Paradigma fungsionalisme sesungguhnya merupakan aliran pemikiran yang paling banyak dianut di dunia. Pan­dangan fungsionalisme berakar kuat pada tradisi sosiologi keteraturan. Pendekatannya terhadap permasalahan berakar pada pemikiran kaum obyektivis. Pemikiran fungsionalisme sebenarnya merupakan sosiologi kemapanan, ketertiban sosial, stabilitas sosial, kesepakatan, keterpaduan sosial, ke­setiakawanan, pemuasan kebutuhan, dan hal-hal yang nyata (empirik). Oleh karenanya, kaum fungsionalis cenderung realis dalam pendekatannya, positivis, deterministis dan nomotetis. Rasionalitas lebih diutamakan dalam menjelaskan peristiwa atau realitas sosial. Paradigma ini juga lebih berorientasi pragmatis, artinya berusaha melahirkan pengetahuan yang dapat diterapkan, berorientasi pada pemecahan masalah yang berupa langkah-langkah praktis untuk pemecahan masalah praktis juga. Mereka lebih mendasarkan pada "filsafat rekayasa sosial” (social engineering) sebagai dasar bagi usaha perubahan sosial, serta menekankan pentingnya cara-cara memelihara, mengendalikan atau mengontrol keteraturan, harmoni, serta stabilitas sosial.
Paradigma ini pada dasamya berusaha me­nerapkan metode pendekatan pengkajian masalah sosial dan kemanusiaan dengan cara yang digunakan ilmu alam dalam memperlakukan objeknya. Paradigma ini dimulai di Prancis pada dasawarsa pertama abad ke-19 karena pengaruh karya Comte, Spencer, Durkheim, dan Pareto. Aliran ini berasal dari asumsi bahwa realitas sosial terbentuk oleh sejumlah unsur empirik nyata dan hubungan antar semua unsur tersebut dapat dikenali, dikaji, diukur dengan pendekatan dan menekankan alat seperti yang digunakan dalam ilmu alam. Menggunakan kias ilmu meka­nika dan biologi untuk menjelaskan realitas sosial pada dasarnya adalah prinsip yang umumnya digunakan oleh aliran ini. Namun demikian, sejak awal abad ke-20, mulai terjadi per­geseran, terutama setelah dipengaruhi oleh tradisi pemikiran idealisme Jerman seperti pemikiran Max Weber, Geroge Simmel dan George Herbet Mead. Sejak saat itu banyak kaum fungsionalis mulai meninggalkan rumusan teoretis dari kaum objektivis dan mulai bersentuhan dengan paradigma interpretatif yang lebih subjektif. Kias mekanika dan biologi mulai bergeser melihat manusia atau masyarakat, suatu per­geseran pandangan menuju para pelaku langsung dalam proses kegiatan sosial.
Pada tahun 1940-an pemikiran sosiologi "perubahan radikal" mulai menyusupi kubu kaum fungsionalis untuk meradikalisasi teori-teori fungsionalis. Sungguhpun telah ter­jadi persentuhan dengan paradigma lain, paradigma fungsonalis tetap saja secara mendasar menekankan pemikiran objek­tivisme dan realitas sosial untuk menjelaskan keteraturan  sosial. Karena persentuhan dengan paradigma lain itu sebenarnya telah lahir beragam pemikiran yang berbeda atau campuran dalam paham fungsionalis.

Paradigma Interpretatif (Fenomenologi)
Paradigma interpretatif sesungguhnya menganut pendirian sosiologi keteraturan seperti halnya fungsionalisme, tetapi mereka menggunakan pendekatan objektivisme dalam analisis sosialnya sehingga hubungan mereka dengan sosiologi keteraturan bersifat tersirat. Mereka ingin memahami kenyataan sosial menurut apa adanya, yakni mencari sifat yang paling dasar dari kenyataan sosial menurut pandangan subjektif dan kesadaran seseorang yang langsung terlibat dalam peristiwa sosial bukan menurut orang lain yang mengamati.
Pendekatannya cenderung nominalis, antipositivis dan ideografis. Kenyataan sosial muncul karena dibentuk oleh kesadaran dan tindakan seseorang. Karenanya, mereka ber­usaha menyelami jauh ke dalam kesadaran dan subjektivitas pribadi manusia untuk menemukan pengertian apa yang ada di balik kehidupan sosial. Sungguhpun demikian, anggapan-­anggapan dasar mereka masih tetap didasarkan pada pan­dangan bahwa manusia hidup serba tertib, terpadu dan rapat, kemapanan, kesepakatan, kesetiakawan. Pertentangan, penguasan, benturan sama sekali tidak menjadi agenda kerja mereka. Mereka terpengaruh lansung oleh pemikiran sosial kaum idealis Jerman yang berasal dari pemikiran Kant yang lebih menekan­kan sifat hakikat rohaniah daripada kenyataan sosial. Perumus teori ini yakni mereka yang penganut filsafat fenomenologi antara lain Dilttey, Weber, Husserl, dan Schutz.

Paradigma Humanis Radikal 
Para penganut humanis radikal pada dasamya berminat mengembangkan sosiologi perubahan radikal dari pandangan subjektivis yakni berpijak pada kesadaran manusia. Pen­dekatan terhadap ilmu sosial sama dengan kaum interpretatif yaitu nominalis, antipositivis, volunteris dan ideografis. Kaum humanis radikal cenderung menekankan perlunya menghilang­kan atau mengatasi berbagai pembatasan tatanan sosial yang ada. Namun demikian, pandangan dasar yang penting bagi humanis radikal adalah bahwa kesadaran manusia telah di­kuasai atau dibelenggu oleh supra struktur idiologis di luar dirinya yang menciptakan pemisah antara dirinya dengan kesadarannya yang murni (alienasi), atau membuatnya dalam kesadaran palsu (false consciousness) yang menghalanginya mencapai pemenuhan dirinya sebagai manusia sejati. Karena itu, agenda utamanya adalah memahami kesulitan manusia dalam membebaskan dirinya dari semua bentuk tatanan sosial yang menghambat perkembangan dirinya sebagai manusia. Penganutnya mengecam kemapanan habis-habisan. Proses-proses sosial dilibat sebagai tidak manusiawi. Untuk itu mereka ingin memecahkan masalah bagaimana manusia bisa memutuskan belenggu-belenggu yang mengikat mereka dalam pola-pola sosial yang mapan untuk mencapai harkat kemanusiaannya. Meskipun demikian, masalah-masalah pertentangan struktural belum menjadi perhatian mereka Paulo Freire misalnya dengan analisisnya mengenai tingkatan kesadaran manusia dan usaha untuk melakukan "konsientisasi", yang pada dasarnya membangkit­kan kesadaran manusia akan sistem dan struktur penindasan, dapat dikategorikan dalam paradigma humanis radikal.

Paradigma Strukturalis Radikal
Penganut paradigma strukturalis radikal seperti kaum humanis radikal memperjuangkan perubahan sosial secara radikal tetapi dari sudut pandang objektivisme. Pendekatan ilmiah yang mereka anut memiliki beberapa persamaan dengan kaum fungsionalis, tetapi mempunyai tujuan akhir yang saling berlawanan. Analisisnya lebih menekankan pada konflik struktural, bentuk-bentuk penguasaan dan pemerosotan harkat kemanusiaan. Karenanya, pendekatannya cen­derung realis, positivis, determinis, dan nomotetis.
Kesadaran manusia yang bagi kaum humanis radikal penting, justru oleh mereka dianggap tidak penting. Bagi kaum strukturalis radikal yang lebih penting justru hubungan­-hubungan struktural yang terdapat dalam kenyataan sosial yang nyata. Mereka menekuni dasar-dasar hubungan sosial dalam rangka menciptakan tatanan sosial baru secara me­nyeluruh. Penganut paradigma strukturalis radikal terpecah dalam dua perhatian, pertama lebih tertarik pada menjelaskan bahwa kekuatan sosial merupakan kunci untuk menjelaskan perubahan sosial. Sebagian mereka lebih tertarik pada keadaan penuh pertentangan dalam suatu masyarakat.
Paradigma strukturalis radikal diilhami oleh pemikiran setelah terjadinya perpecahan epistemologi dalam sejarah pemikiran Marx, di samping pengaruh Weber. Paradigma inilah yang menjadi bibit lahirnya teori sosiologi radikal. Penganutnya antara lain Luis Althusser, Polantzas, Colletti, dan beberapa penganut kelompok kiri baru.

Diagram 2
Peta Analisis Sosial Barnel & Morgan (1979)

SUBYEKTIVIS
Keteraturan
Subyektivis


PARADIGMA
INTERPRETATIF (FENOMENOLOGI)



PARADIGMA
FUNGSIONALISME
Keteraturan
Obyektivis

OBYEKTIVIS
Pertentangan
Subyektivis


PARADIGMA
HUMANIS
RADIKAL




PARADIGMA
STRUKTURALIS
RADIKAL
Pertentangan
Obyektivis

Catatan Kritis
Paradigma-paradigma sosiologi tersebut sangat mem­pengaruhi bagaimana seorang pemikir sosial dalam mengem­bangkan teori sosial. Misalnya saja, penganut paradigma inter­pretatif atau sosiologi fenomenologis akan mengembangkan teori perubahan sosial yang sama sekali berbeda dengan peng­anut fungsionalisme. Penganut aliran fenomenologis, karena dasar filsafatnya adalah mencoba memahami dan mendengar­kan kehendak masyarakat, maka perubahan sosial lebih di­utamakan ke arah yang dikehendaki oleh masyarakat tersebut. Berbagai metodologi dikembangkan, seperti "etnografi" ataupun "riset observasi", untuk menangkap dan memahami simbol-simbol kehendak masyarakat.
Sementara bagi penganut fungsionalisme yang bersandar­kan pada paradigma positivisme, mereka merasa berhak untuk melakukan "rekayasa sosial" sehingga akan berpengaruh ketika mereka berhadapan dengan masyarakat. Masyarakat dalam proses perubahan sosial model positivisme dan rekayasa sosial, ditempatkan sebagai "objek" perubahan. Oleh karenanya, mereka diarahkan, dikontrol, direncanakan, serta dikonstruksi oleh kalangan ilmuwan, birokrat, dan bahkan koordinator program LSM yang menganut paham positivisme tersebut. Mereka memisahkan antara masyarakat sebagai objek perubahan, ilmuwan dan peneliti atau bahkan tenaga lapangan sebagai tenaga-tenaga ilmiah yang objektif, rasional, tidak memihak, dan bebas nilai, dan birokrat atau negara dalam proses perubahan sosial berperan sebagai pengambil­-pengambil keputusan. Dengan demikian, proses perubahan sosial penganut paradigma ini, teori perubahan sosialnya ber­sifat elitis. Demikian halnya, penganut paradigma struktural akan memahami masalah sosial dan mengajukan teori per­ubahan sosial yang berbeda dibanding teori yang diajukan para penganut fungsionalis maupun fenomenologis. Bagi para penganut paradigma kritis transformatif, teori perubahan sosial dimaksudkan sebagai proses yang melibatkan korban untuk perubahan transformasi sistem dan struktur menuju ke sistem yang lebih adil. Dengan demikian proses perubahan sosial berwatak subjektif, memihak, tidak netral, dan untuk terciptanya keadilan sosial dan oleh karenanya berwatak populis.
Dengan memahami berbagai peta paradigma perubahan sosial tersebut, akan lebih mudah bagi kita untuk memahami apa motivasi dan dasar pikiran suatu teori perubahan sosial dan pembangunan. Dengan memahami paradigma sosiologi yang dianut oleh pencetusnya, kita juga dapat memahami berbagai metodologi dan pendekatan proyek pembangunan maupun aksi sosial di akar rumput. Hal ini karena, pada dasarnya, metodologi dan teknik program perubahan sosial maupun pembangunan, serta teori-teori perubahan sosial yang dikembangkan oleh seseorang atau suatu organisasi sangat konsisten dalam mengikuti paradigma yang diyakini maupun yang dianutnya. Paradigma sosiologis yang dianut tidak saja mempengaruhi bagaimana suatu teori sosial memberi makna terhadap realitas sosial, tetapi juga mempengaruhi visi dan misi suatu teoti sosial, bahkan mempengaruhi pula penentuan pendekatan ketika seseorang atau suatu organisasi melakukan penelitian serta aksi praktik manajemen pelaksanaan suatu teori sosial dalam bentuk program pengembangan masyarakat ataupun pembangunan, maupun pilihan pendekatan evaluasi terhadap program tersebut.

BAGIAN II
Langkah Praxis Analisis Sosial

Apakah Analisa Sosial Itu?

Suatu proses analisa sosial adalah usaha untuk mendapatkan gambaran yang lebih lengkap tentang situasi sosial, hubungan-hubungan struktural, kultural dan historis.
Sehingga memungkinkan menangkap dan memahami realitas yang sedang dihadapi. Suatu anali­sis pada dasarnya "mirip" dengan sebuah "penelitian akademis" yang berusaha menying­kap suatu hal atau aspek tertentu. Dalam proses ini yang dilakukan bukan sekedar me­ngumpulkan data, berita atau angka, melainkan berusaha membongkar apa yang terjadi se­sungguhnya, bahkan menjawab mengapa demikian, dan menemukan pula faktor-faktor apa yang memberikan pengaruh kepada kejadian tersebut. Lebih dari itu, analisis sosial, seyog­yanya mampu memberikan prediksi ke depan: kemungkinan apa yang tetjadi.
Analisa sosial merupakan upaya untuk mengurai logika, nalar, struktur, atau kepentingan dibalik sebuah fenomena sosial. Analisa sosial bukan semata deskripsi sosiologis dari sebuah fenomena sosial. Analisa sosial hendak menangkap logika struktural atau nalar dibalik sebuah gejala sosial. Analisa sosial dengan demikian material, empiris, dan bukan sebaliknya, mistis, atau spiritualistik. Analisa sosial menafsirkan gejala sosial sebagai gejala material. Kekuatan dan gagasan ideologis dibalik gejala sosial harus dianalisa.



Wilayah Analisa Sosial

  1. Sistem-sistem yang beroperasi dalam suatu masyarakat.
  2. Dimensi-dimensi obyektif masyarakat (organisasi sosial, lembaga-lembaga sosial, pola perilaku, kekuatan-kekuatan sosial masyarakat)
  3. Dimensi-dimensi subyektif masyarakat (ideologi, nalar, kesadaran, logika berpikir, nilai, norma, yang hidup di masyarakat).

Pendekatan Dalam Analisa Sosial

  1. Historis: dengan mempertimbangkan konteks struktur yang saling berlainan dari periode-periode berbeda, dan tugas strategis yang berbeda dalam tiap periode.
  2. Struktural: dengan menekankan pentingnya pengertian tentang bagaimana masyarakat dihasilkan dan dioperasikan, serta bagaimana pola lembaga-lembaga sosial saling berkaitan dalam ruang sosial yang ada.

Bagaimana Hasil Analisa Sosial?
Apakah hasil kesimpulan dari analisa sosial bersifat final? tentu saja tidak.
Karena hasil dari analisa tersebut dapat dikatakan hanya merupakan kebenaran tentatif, yang bisa berubah sesuatu dengan fakta atau data dan temuan-temuan yang baru.
Dengan demikian, analisa ini bersifat dinamis, terus bergerak, memperbarui diri, dikaji ulang dan terus harus diperkuat dengan fakta-fakta pendukung.
Hasil analisa bukan suatu dogma, atau sejenis kebenaran tunggal.

Batas Analisa Sosial

  1. Analisa sosial bukanlah kegiatan monopoli intelektual, akademisi, atau peneliti. Siapapun dapat melakukan analisa sosial.
  2. Analisa sosial  tidaklah bebas nilai.
  3. Analisa sosial memungkinkan kita bergulat dengan asumsi-asumsi kita, mengkritik, dan menghasilkan pandangan-pandangan baru.


Siapa Pelaku Analisa Sosial?

Semua pihak atau pelaku sosial yang menghendaki untuk mendekati dan terlibat langsung dengan realitas sosial. Bicara tentang analisis sosial, pada umumnya selalu dikaitkan dengan dunia akade­mik, kaum cendikiawan, ilmuwan atau kalangan terpelajar lainnya. Ada kesan yang sangat kuat bahwa anaIisis sosial hanya milik "mereka". Masyarakat awam tidak punya hak untuk melakukannya. Bahkan kalau melakukan, maka disediakan mekanisme sedemikian rupa, sehingga hasil analisis awam itu dimentahkan.
Pemahaman yang demikian, bukan saja keliru, melainkan mengandung maksud-mak­sud tertentu yang tidak sehat dan penuh dengan kepentingan. Pengembangan analisis sosial di sini, justru ingin membuka sekat atau dinding pemisah itu, dan memberikatmya kesem­patan kepada siapapun untuk melakukannya. Malahan mereka yang paling dekat dengan suatu kejadian, tentu akan merupakan pihak yang paling kaya dengan data dan informasi. Justru analisis yang dilakukan oleh mereka yang dekat dan terlibat tersebut akan lebih ber­peluang mendekati kebenaran. Dengan demikian, tanpa memberikan kemampuan yang cu­kup kepada masyarakat luas untuk melakukan analisis terhadap apa yang terjadi di lingku­ngan mereka, atau apa yang mereka alami, maka mereka menjadi sangat mudah "dimanipu­lasi", "dibuat bergantung" dan pada gilirannya tidak bisa mengambil sikap yang tepat.


Mengapa Gerakan Sosial Membutuhkan Analisa Sosial ?
Kalau kita pahami secara lebih mendalam, aktivitas sosial adalah sebuah proses pe­nyadaran masyarakat dari suatu kondisi tertentu kepada kondisi yang lain yang lebih baik (baca: kesadaran kritis) Kalau kita menggunakan isti1ah yang lebih populer, aktivitas semacam itu bisa juga disebut sebagai aktivitas pemberdayaan (Empowerment) untuk suatu entitas atau komunitas masyarakat tertentu. Dari statemen tersebut, maka akan termuat sua­tu makna bahwa sebenarnya kesadaran kritis atas realitas sosial ini pada dasarnya ada pada setiap diri ma­nusia. Hanya saja tingkat kesadaran kritis pada masing-masing orang itu kadarnya berbeda-beda. Dan aktivitas sosial adalah alat untuk menyadarkan atau memotivasi bagi munculnya kesadaran tersebut. Meskipun, sebagaimana kita ketahui, bahwa membangun kesadaran kritis atas realitas sosial itu tidaklah semudah membalik tangan, karena kesadaran itu dilingkupi oleh persoalan-persoalan (sosial dan sebagainya), yang senantiasa membelenggunya. Kalau kita gambarkan, maka persoalan yang melingkupi kesadaran kritis akan realitas sosial itu adalah sebagai berikut:

Diagram 3
Peta Aktivitas Analisis Sosial, H.A. Taufiqurrahman (1999)
Flowchart: Summing Junction: Ekonomi
Politik A Sosial Budaya
 






              Aktivitas Sosial                                                               Aktivitas Non-Sosial
                                                                                                  





A: Kesadaran Kritis
Out-put: Aktivis Gerakan Sosial yang Kritis akan Realitas Sosial

Oleh karena itu, untuk masuk pada titik sentral kesadaran kritis atas realitas sosial sebagaimana dimaksud dalam gerakan sosial di atas, maka tidak mungkin untuk tidak membongkar, mengurai dan menganalisa persoalan-persoalan yang ada disekitarnya. Pada konteks inilah kompetensi analisis sosial dalam gerakan sosial.


Signifikansi Analisa Sosial
  1. Untuk mengidentifikasikan dan memahami persoa­lan-persoalan yang berkembang (ada) secara lebih mendalam dan seksama (teliti); berguna untuk membedakan mana akar masalah (persoalan mendasar) dan mana yang bukan, atau mana yang merupakan masalah turunan.
  2. Akan dapat dipakai untuk mengetahui potensi yang ada (kekuatan dan kelemahan) yang hidup dalam masyarakat.
  3. Dapat me­ngetahui dengan lebih baik (akurat) mana kelompok masyarakat yang paling dirugikan (termasuk menjawab mengapa demikian).
  4. Dari hasil analisa sosial tersebut dapat proyeksikan apa yang mungkin akan terjadi, sehingga dengan demikian dapat pula diperkirakan apa yang harus dilakukan.

Orientasi Analisa Sosial

  1. Analisa sosial jelas didedikasikan dan diorientasikan untuk keperluan perubahan.
  2. Analisa sosial adalah watak mengubah yang dihidupkan dalam proses identifikasi. Justru karena itu pula, maka menjadi jelas bahwa analisa sosial merupakan salah satu titik simpul dari proses mendorong perubahan.
  3. Analisa sosial akan menghasilkan semacam peta yang mem­berikan arahan dan dasar bagi usaha-usaha perubahan.


Prinsip-Prinsip Analisa Sosial

  1. Analisa sosial bukan suatu bentuk pemecahan masalah, melainkan hanya diagnosis (pencarian akar masalah), yang sangat mungkin digunakan dalam menyelesaikan suatu masalah, karena analisa sosial memberikan pengetahuan yang lengkap, sehingga diha­rapkan keputusan atau tindakan yang diambil dapat merupakan pemecahan yang tepat.
  2. Analisa sosial tidak bersifat netral, selalu berasal dari keberpihakan terhadap suatu ke­yakinan. Soal ini berkait dengan perspektif, asumsi-asumsi dasar dan sikap yang diam­bil dalam proses melakukan analisa. Karena pernyataan di atas, maka analisa sosial dapat digunakan oleh siapapun.
  3. Analisa sosial lebih memiliki kecenderungan mengubah; tendensi untuk menggunakan gambaran yang diperoleh dari analisa sosial bagi keperluan tindakan-tindakan mengubah, maka menjadi sangat jelas bahwa analisa sosial berposisi sebagai salah satu simpul dan siklus kerja transformasi.
  4. Analisa sosial selalu menggunakan ‘tindakan manusia’ sebagai sentral atau pusat dalam melihat suatu fenomena nyata.


Tahap-Tahap Analisa Sosial

  1. Tahap menetapkan posisi, orientasi: pada intinya dalam tahap ini, pelaku analisa perIu mempertegas dan menyingkap motif serta argumen (ideologis) dari tindakan analisa sosial.
  2. Tahap pengumpulan dan penyusunan data: tujuan dan maksud dari tahap ini, agar analisa memiliki dasar rasionalitas yang dapat diterima akal sehat. Ujung dari pengumpulan data ini adalah suatu upaya untuk merangkai data, dan menyusunnya menjadi diskripsi tentang suatu persoalan.
  3. Tahap analisa: pada tahap ini, data yang telah terkumpul diupayakan untuk dicari atau ditemukan hubungan diantaranya.




Diagram 4
Peta Proses Analisis Sosial, H.A. Taufiqurrahman (1999)
PROSES ANALISIS SOSIAL
 

                                                        


JALAN KELUAR
 
PEMECAHAN MASALAH
 
ANALISIS SOSIAL
 
MASALAH
 

                                                   

Tindakan yang dilakukan
 
Rumusan masalah
 
Akal Fikiran
Keyakinan
Data
Fakta
 
 






Apa Yang Penting Ditelaah dalam Melakukan Analisa Sosial
  1. Kaitan Historitas (Sejarah Masyarakat).
  2. Kaitan Struktur.
  3. Nilai.
  4. Reaksi yang berkembang dan arah masa depan.

Model Telaah dalam Analisa Sosial

  1. Telaah Historis, dimaksudkan untuk melihat ke belakang. Asumsi dasar dari telaah ini bahwa suatu peristiwa tidak dengan begitu saja hadir, melainkan melalui sebuah proses sejarah. Dengan ini, maka kejadian, atau peristiwa dapat diletakkan dalam kerangka masa lalu, masa kini dan masa depan.
  2. Telaah Struktur. Biasanya orang enggan dan cemas melakukan telaah ini, terutama oleh stigmatisasi tertentu. Analisa ini sangat tajam dalam melihat apa yang ada, dan mempersoalkan apa yang mungkin tidak berarti digugat. Struktur yang akan dilihat adalah: ekonomi (distribusi sumberdaya); politik (bagaimana kekuasaan dijalankan); sosial (bagaimana masyarakat mengatur hubungan di luar politik dan ekonomi); dan budaya (bagaimana masyarakat mengatur nilai).
  3. Telaah Nilai. Penting pula untuk diketahui tentang apa nilai-nilai yang dominan dalam masyarakat. Mengapa demikian. Dan siapa yang berkepetingan dengan pengembangan nilai-nilai tersebut.
  4. Telaah Reaksi. Melihat reaksi yang berkembang berarti mempersoalkan mengenai siapa yang lebih merupakan atau pihak mana yang sudah bereaksi, mengapa reaksi muncul dan bagaimana bentuknya. Telaah ini penting untuk menuntun kepada pemahaman mengenai "peta" kekuatan yang bekerja.
  5. Telaah Masa Depan. Tahap ini lebih merupakan usaha untuk memperkirakan atau meramalkan, apa yang terjadi selanjutnya. Kemampuan untuk memberikan prediksi (ramalan) akan dapat menjadi indikasi mengenai kualitas tahap-tahap sebelumnya.

Diagram 5
Peta Kerangka Pikir Analisas Sosial

Paradigma Konsensus
Paradigma Konflik
Konservatif
Liberal
Konflik/ Transformis
Dalam masyarakat ada kelas-kelas sosial, dan ada kerukunan kelas
Ada kelas sosial, ada konlik antar-kelas
Struktur  sosial merupakan hasil konsensus antar anggota masyarakat, struktur sosial tidak pernah dipemasalahkan, bahkan dipertahankan
Struktur sosial adalah hasil konstruksi kelas sosial tertentu, yang dipaksakan untuk ditaati oleh masyarakat.  Struktur sosial selalu dipermasalahkan
Akar pemasalahan terletak pada manusia itu sendiri, atau karena sesuatu kekuatan suprasejarah
Akar permasalahan terletak pada kesenjangan kesadaran, kurangnya kesempatan, kurangnya keterampilan, kesempatan, dan lainnya.
Akar permasalahan berakar pada struktur sosial yang tidak adil, menindas.
Meringankan beban korban
Modernisasi sosial
Mentransformasikan struktur yang tidak adil ke struktur yang adil
Pembagian sembako, bakti sosial, pengobatan gratis, khotbah, bantuan untuk kelaparan, pelayanan kaum cacat, himbauan moral, dan lainnya
Pelatihan, kurus, pembangunan infrastruktur
Pengorganisiran masyarakat, pendidikan politik, gerakan sosial, advokasi kebijakan,gerakan massa, pemogokan, pemboikotan,  gagasan-gagasan sosial dan struktur alternatif
Masyarakat itu sendiri
Kaum elite, pemerintah, agamawan, LSM, dan lainnya
Masyarakat dan kepemimpinan perubahan/gerakan
Otoritas
Instruktif, konsultatif
Delegatif, kepemanduan, trasnformatif
Kasinh sayang, menolong orang miskin, kepedulian, rasa kemanusiaan
Persamaan hak dan kesempatan
Kesadaran struktural
Karitatif
Reformatif
Transformatif

Diagram 6
Model-Model Perubahan dan Implikasinya

Implikasi
Model EKonomi
Model Sosial
Model Politik
Ekonomi
Akumulasi kapital/kapitalisasi
(Re)Distribusi
Transformasi struktural
Politik
Stabilitas
Bantuan
Mobilisasi/trasnformasi politik
Kebudayaan
Pertumbuhan
Kesamaan
Trasnformasi kultural/Imajinasi
Transformasi
Pertumbuhan infrastruktur
Penguatan daya beli
Struktural
Missi
Panggilan kelas menengah
Bekerja dengan masyarakat marjinal
Mendorong trasnformasi struktural dalam semua level
Pendidikan
Peningkatan infrastruktur sekolah
Pemberian atau pencarian beasiswa
Akses struktural Pendidikan

Diagram 7
Model Perubahan Interpretatif
Variabel
Tradisional
Liberal
Radikal
Pandangan waktu
Siklis
evolusioner
Transformatif
Pandangan ruang
organis
pluralis
Interdependen
Prinsip pengatur
Otoritarian/ketertiban
Managerial/ Keseimbangan
Partisipatif/masyarakat
Perubahan utama
Biologis/ Tubuh
mekanistik
Transformasional
Sikap terhadap konflik
Menyerap atau menolak
Mengawasi
Mengelola konflik

Keterangan:
 
Tradisional
1.     Siklis: kepingan-kepingan episode (maa lalu, kini, masa depan) dintegrasikan dalam keseluruhan sejaah
2.     Organis: hanya ada susunan tunggal yang diatur sesuai kepentingan umum
3.     Otoritarian: masyarakat dipandang seperti piramida yang dikendalikan dari puncak dengan sedikit partisipasi bawah
4.     Biologis: masyarakat dipandang seperti organisme yang analog dengan tubuh manusia
5.     Menyimpang: perubahan yang mengubah siklus sejarah dianggap menyimpang

Liberal
1.    Evolusioner: perkembangan sejarah bersifat linear. Gerak sejarah bukan siklis, tapi kemajuan/progresif
2.    Pluralis: ruang sosial disusun berdaasarkan berbagai macam bagian yang tidak terpisah dan tak berhubungan
3.    Manajerial: menjaga keseimbangan semua unsur atau bagian
4.    Mekanistik: masyarakat dipandang sebagai mesin yang bekerja
5.    Pengawasan: perubahan sosial merupakan kehendak sejarah, namun tidak mengubah struktur dasar yang mendasarinya. Perubahan selalu diawasi agar tidak menyimpang

Transformatif
1.    Transformatif: setiap peristiwa sejaah dipandang secara fundamental menimbulkan tahapan baru, masa lalu, sekarang, dan masa depan, terkait secara dialektik
2.    Interdependen: masyarakat dianggap sebagai keseluruhan sistem yang kreatif, dialektik.
3.    Partisipasi: kepentingan umum merupakan input masyarakat, hasil definisi masyarakat
4.    Transformasi kultural: masyarakat terbentuk secara kreatif melalui dialog maupun cita-cita utopis anggotanya.
5.    Kreatif: konflik merupakan penggerak sejarah, dan kemajuan.

Tahap Penarikan Kesimpulan Analisa Sosial

Pada tahap ini, setelah berbagai aspek tersebut ditemu­kan, maka pada akhirnya suatu kesimpulan akan diambil; kesimpulan merupakan gambaran utuh dari suatu situasi, yang didasarkan kepada hasil analisa. Dengan demikian kualitas kesimpulan sangat bergantung dari proses tahap-tahap analisa, juga tergantung pada kompleksitas isu, kekayaan data dan akurasi data yang tersedia, ketepatan pertanyaan atau rumusan terhadap masalah, dan kriteria yang mempengaruhi penilaian-penilaian alas unsur-unsur akar masalah.

Dasar Penarikan Kesimpulan Analisa Sosial
Yang tidak kalah penting adalah menemukan apa yang menjadi akar masalah. Untuk menemukan akar masa­lah dapat dituntun dengan pertanyaan: mengapa? Untuk sampai kepada akar masalah, maka penting dilakukan kualifikasi secara ketat, guna menentukan faktor mana yang paling pen­ting. Kesimpulan tidak lain berbicara mengenai faktor apa yang memberikan pengaruh pa­ling dominan (paling kuat) dan demi kepentingan siapa unsur akar tersebut bekerja. Seba­gaimana diungkapkan di depan, kesimpulan tidak menjadi sesuatu yang final, melainkan akan mungkin diperbaiki menurut temuan-temuan atau data baru.



[1] Mansour Faqih, Sesat Pikir Teori Pembangunan dan Globalisasi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Insist Press, Cet. I., 2001) h. 17-43.
[2] Lihat: Michael Quin Patton, Alternative Evaluation Research Paradigm. Grand Forks: University North Dakota, 1970.
[3] Definisi ini meminjam uraian Popkewitz. Lihat Popkewitz, Thomas. Paradigm and Ideology in Educational Research. New York: Palmer Press, 1984.
[4] Thomas Khun (1970) dikenal orang pertama yang membuat terkenal istilah paradigma. Ia tertarik pada perkembangan dan revolusi ilmu penge­tahuan, dengan menganalisis hubungan antara berbagai paradigma dan penelitian ilmiah. Untuk uraian mengenai paradigma lihat: Thomas Kuhn. The Structures of Scientific Revolutions. Chicago: The University of Chicago Press, 1970.
[5] Lihat Ritzer, "Sociology: A Multiple Paradigm Science" dalam Jumal The American Sociologist No. 10, 1975. hal: 156-157.
[6] Pertanyaan ini kami adaptasi dan pinjam dari Becker, yang membahas tentang pilihan-pilihan dalam paradigma dan teori penelitian. Lihat tulisan Becker, "Whose side are we on? dalam buku yang di edit oleh W.J. Fisltead (Ed.). Qualitative Methodology Chicago: Markham, 1970.
[7] Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed. New York: Praeger, 1986.
[8] Lihat Smith, Themaning of Conscientacao: The Goal of Paulo Freire's Pedagogy Amherst: Center for International Education, UMASS, 1976.
[9] Pemikiran yang bisa dikategorikan dalam analisis ini adalah para penganut modernisasi dan developmentalisme. Paham modernisasi se­lanjutnya menjadi aliran yang dominan dalam ilmu-i1mu sosial. Misalnya saja dalam antropologi, pikiran Kuncaraningrat tentang budaya pem­bangunan sangat berpengaruh bagi kalangan akademik dan birokrat. Paham modernisasi juga 'berpengaruh' dalam pemikiran Islam di Indonesia. Adanya yang salah dalam teologi fatalistik yang dianut umat Islam dianggap sebagai penyebab keterbelakangan. Asumsi itu dianut oleh kaum modemis sejak Muhammad Abduh atau Jamaluddin Afgani sampai kelompok pembaharu saat ini seperti Nurcholish Madjid c.s. Lihat: Dr. Harun Nasution, Pem­baharuan dalam Islam, Jakarta; Bulan Bintang, 1978. serta majalah ulasan tentang "Gerakan Pembaharuan Islam" dalam Ulumul Quran tahun 1993.
[10] Burnell & Morgan, Sociological Paradigms & Organizational Analysis London: Heinemann, 1979.

1 komentar:

  1. maaf shbt, tulisanx kurang jelas, mungkin bacgkgroundx bisa diganti, dan kalau bisa q minta materi yang berbentuk PDF, biar enak di downloadx....mksh

    BalasHapus