Oleh : CHE HUDA

Oleh  : CHE HUDA

Jumat, 14 Januari 2011

GAGASAN PENDIDIKAN KRITIS PAULO FREIRE

PRAWACANA                                                                                              
Paulo Freire bagi banyak praktisi pendidikan adalah tokoh pendidikan yang penuh misteri. Banyak mitos yang menyelimuti pe­mikiran pendidikannya, sehingga banyak orang lebih menghafalkan jargon-jargon dan istilah yang dipergunakannya dalam bukunya yang terkenal, yakni Pendidikan Kaum­ Tertindas (Pedagogy of The Op­ressed) ketimbang memahami se­cara praktis kedalam proses belajar-mengajar yang membebaskan. Banyak tema pi­kiran pendidikan Freire yang tertuang dalam buku tersebut tidak mampu secara metodologis diterjemahkan ke dalam proses dan teknis belajar-mengajar oleh penganggumnya yakni ka­langan praktisi pendidikan. Itulah makanya se­bagian besar pendidik ataupun guru yang me­rasa jadi pengikutnya, hanya pandai menghafal­kan mantra-mantra Freire yang terkenal, misal­nya "Pendidikan adalah Proses Pembebasan dan Pendidikan adalah Proses Membangkitkan Kesadaran Kritis". Bahkan ironisnya banyak praktisi dengan menggunakan semboyan pendidikan pembebasan dan humanisasi, tanpa menyadari terjerumus dalam tindak praktik pendidikan penindasan dan dehumanisasi, yang justru men­jadi agenda utama kritik Freire. Apa sesungguh­nya yang dia maksud dengan 'pembebasan' dan 'kesadaran kritis,' lebih banyak dibicarakan dalam seminar dan diskusi mahasiswa maupun aktivis ornop, ketimbang dipraktikkan di lapang­an. Namun demikian, ternyata terdapat banyak tafsiran mengenai apa yang dimaksud Freire de­ngan 'pendidikan pembebasan' maupun 'pembangkitan kesadaran kritis' yang menjadi tema pokok pendidikan Freire tersebut

SIAPA SEBENARNYA PAULO FREIRE?
Paulo Freire adalah seorang pendidik ra­dikal berkebangsaan Brasil, yang lahir pada tanggal 19 September 1921, di kota Recife, Brasil, dan meninggal dunia pada tanggal 2 Mei 1997, di Sao Paulo, Brasil. Sejak bukunya terbit dalam bahasa Inggris pada tahun 1972 namanya men­jadi terkenal sebagai tokoh pendidikan yang me­nemukan suatu model pendidikan untuk mem­berdayakan 'kaum tertindas' dan sistem penindasan di muka bumi ini. Ia mulai sebagai pendidikan radikal justru melalui kegiatan pemberantas­an buta huruf (literacy programs), suatu pendi­dikan yang umumnya dianggap sebagai pendidikan apolitis dan tidak radikal sama sekali. Freire berhasil mensubversikan kesadaran politik dalam proses pendidikan mengenal huruf dan belajar membaca tersebut. Dalam karyanya Pedagogia do Oprimido (1970; serta buku yang membuatnya termasyhur, Pedagogy of the Op­pressed, yang terbit tahun 1972) Freire mem­bongkar watak pasif dari praktik pendidikan tradisional yang melanda dunia pendidikan, Dia menganggap bahwa pendidikan pasif sebagai­mana dipraktikkan pada umumnya pada dasar­nya melanggengkan “sistem relasi penindasan”. Freire mengejek sistem dan praktik pendidikan yang menindas tersebut, yang disebutnya seba­gai pendidikan 'gaya bank' dimana guru bertin­dak sebagai penabung yang menabung informasi sementara murid dijejali informasi untuk disimpan. Freire menyusun daftar antagonisme pendidikan 'gaya bank' itu sebagai berikut:
§  Guru mengajar mund belajar.
§  Guru tahu segalanya, murid tidak tahu apa-apa.
§  Guru berpikir, murid dipikirkan.
§  Guru bicara, murid mendengarkan.
§  Guru mengatur, murid diatur.
§  Guru memilih dan memaksakan pilihan­nya, murid menuruti.
§  Guru bertindak, murid membayangkan bagaimana bertindak sesuai dengan tin­dakan gurunya.
§  Guru memilih apa yang akan diajarkan,
murid menyesuaikan diri.
§  Guru mengacaukan wewenang ilmu pe­ngetahuan dengan wewenang profesional­ismenya, dan mempertentangkannya de­ngan kebebasan murid.
§  Guru dalah subjek proses belajar, murid objeknya.
Sebagai antitesa, Freire mengajukan kon­sep tandingan terhadap pendidikan 'gaya bank' tersebut dengan suatu ‘pedagogy of libeartion’ yakni proses pendidikan hadap masalah (problem posing of education) yang justru mendo­rong dialog antara guru dan murid, serta suatu proses pendidikan yang mampu mendorong pe­serta didik untuk mengajukan pertanyaan dan menantang 'status quo'.
Paulo Freire mulai melancarkan model dan metode pendidikannya pada tahun 1950-an, ke­tika dia terlibat dalam pengajaran membaca dan menulis dalam suatu kegiatan pendidikan pem­berantasan buta huruf untuk petani miskin. Pe­ngalaman itu membuktikan bahwa dengan penggunaan kata-kata sebari-hari selain mem­percepat proses belajar membaca, ternyata pen­didikan itu juga telah melahirkan kesadaran po­iitik ekonomi para petani miskin. Jadi pendidik­an telah melahirkan kesadaran politik maupun kesadaran kritis petani miskin. Pada tahun 1963 dia ditunjuk sebagai direktur Program Nasional Pemberantasan Buta Huruf Brasil. Tetapi sete­lah kudeta militer tahun 1964, pemerintah Junta Militer Brasil menjebloskan Freire ke penjara atas tuduhan subversi. Selepas dari penjara, Freire rnenghabiskan waktunya hidup di penga­singan diluar Brasil, dan membunuh waktunya dalam berbagai program literacy serta mengajar di berbagai universitas.
Pada tahun 1979 Paulo Freire kembali ke Brasil, disana ia dan kawan-kawannya memdirikan partai buruh berhalauan kiri. Akhirnya Freire diangkat menjadi sekretaris pendidikan di kota Sao Paulo pada tahun 1988, tetapi ia mengundurkan diri beberapa tahu setelahnya. Sebagai birokrat rupanya Freire kurang berhasil, namun sebagai pemikir, Freire cukup berhasil. Pegruh pikiran pendidikannya menembus batas bahasa dan wilayah benua. Freire menulis lebih dari 20 judul buku, dan beberapa karyanya dianggap sebagai bukuklasik dalam bidang pendidikan. Bahkan kini buku-bukunya telah diterjemahkan kedalam berbagai bahasa.

FREIREAN, PENDIDIKAN UNTUK BEBAS DARI DOMINASI DAN PENINDASAN!
Freirean, atau aliran pendidikan Paulo Freire pada dasarnya adalah suatu pendekatan dan pemikiran yang berangkat dari asumsi bahwa pendidikan adalah proses pembebasan dari sistem yang menindas. Penganut pendidikan Freirean berangkat dari suatu kepercayaan bahwa pendidikan tidak pernah terbebas dari kepentingan politik ataupun terbebas demi melanggengkan sistem sosial ekonomi maupun kekuasaan yang ada. Sebaliknya pandangan ini ju­ga berasumsi bahwa pendidikan bagi kekuasaan, selalu digunakan untuk melanggengkan ataupun melegitimasi dominasi mereka. Oleh karena itu hakikat pendidikan umumnya bagi mereka tidak lebih dari sebagai sarana untuk mereproduksi sisteotip dan struktur sosial yang tidak adil seperti sistem relasi kelas, relasi gender, relasi rasisme ataupun sistem relasi lainnya. Pandang­an ini dikenal dengan ‘teori reproduksi’ terhadap sistem yang tidak adil melalui pendidikan.
Berbeda dengan pandangan maupun teori 'reproduksi' dalam pendidikan tersebut, ada pandangan maupun teori pendidikan yang juga datang dari kelompok pendidik radikal, yang justru berangkat dari asumsi dan keyakinan bahwa pendidikan adalah proses ke­sadaran kritis, seperti menumbuhkan kesadaran kelas, kesadaran gender, maupun kesadaran kri­tis lainnya. Pandangan kedua inilah yang dianut oleh aliran Freirean tersebut. Oleh karena itu pendidikan bagi kelompok Freirean merupakan proses pembebasan manusia. Pendirian Freire­an berangkat dari asumsi bahwa manusia dalam sistem dan struktur sosial yang ada pada dasar­nya memgalami proses dehumanisasi karena eksploitasi kelas, dominasi gender, maupun karena hegemoni dan dominasi budaya lainnya. Oleh karena itu pendidikan merupakan suatu sarana untuk 'memproduksi' kesadaran untuk mengembalikan kemanusiaan, dan dalam kaitan ini, pendidikan berperan untuk membangkitkan kesadaran kritis sebagai prasyarat upaya untuk pembebasan. Freire percaya bahwa tugas pen­didikan adalah memproduksi kesadaran kritis untuk suatu proses pembebasan.
Bagaimana proses pembebasan, pembang­kitan kesadaran kritis, dan pembebasan itu dila­kukan? Para praktisi dalam menjawab pertanyaan ini umumnya lebih konsentrasi pada metode pendidikan belaka. Namun sesungguhnya, pendidikan tidak pernah berdiri bebas tanpa berka­itan secara dialektis dengan lingkungan dan sis­tem sosial dimana pendidikan diselenggarakan. Oleh karena itu proses pendidikan sebagai proses pembebasan tidak pemah terlepas dari sis­tem dan struktur sosial, yakni konteks sosial yang menjadi penyebab atau yang menyumbangkan proses dehumanisasi dan keterasingan pada waktu pendidikan diselenggarakan. Dalam era globalisasi kapitalisme seperti saat ini, pen­didikan dihadapkan pada tantangan bagaimana mengkaitkan konteks dan analisis isinya untuk memahami globalisasi secara kritis. Strategi umumnya pendidik lebih tertuju pada bagai­mana membuat kelas mereka relevan terhadap formasi sosial yang dominant saat ini. Strategi seperti ini lebih berkesan menerima dan mensi­asati dan yang paling penting melakukan penye­suaian terhadap ideologi dominan. Sementara itu jarang pendidikan yang mengintegrasikan analisis kritis dan bagaimana mereka berperan dengan proses kritik dan melakukan dekon­struksi, untuk menemukan solusi alternatif ter­hadap globalisasi, seperti misalnya menciptakan diskursus tandingan terhadap sistem dominan ataupun diskursus dominan dengan perspektif alternatif.
Untuk mendorong pendidikan menjadi pe­ka terhadap persoalan ketidakadilan sosial, perlu setiap kelas secara otonom menentukan visi dan misi sesuai perkembangan formasi sosial, bagaimana mereka memperjelas keberpihakan terhadap proses ketidakadilan sosial, serta bagaimana mereka menterjemahkan semua itu dalam metodologi pendidikan. Oleh karena itu metode dan teknik pendidikan 'hadap masalah' menjadi salah satu kegiatan strategis untuk merespon sistem dan diskursus yang dominan. Persoalannya, proses pendidikan kelemahannya dan sekaligus kekuatannya, seringkali menjadi arena yang paling tidak terkontrol dan tidak termonitor. Sehingga diperlukan mekanisme yang memungkinkan peserta didik menjadi subjek dan pusat kegiatanpendidikan. Oleh karena itu orientasi untuk setiap peserta pendidik­an adalah menghayati visi dan misi pendidikan mereka. Yang jauh lebih penting adalah kesadar­an kritis peserta didik sangat diperlukan jika pendidikan hendak meletakkan peserta didik se­bagai subjek dan pemonitor. Kesadaran kritis perlu agar proses dan metode pendidikan dapat menuju pada tujuan sesungguhnya yakni sebuah transformasi sosial.
Untuk itu perlu ditunjukkan bagaimana proses 'penyadaran kritis' itu beroperasi dalam metodologi pendidikan sehingga secara teknis metode tersebut dapat dilakukan. Secara konk­ret perlu dijabarkan bagaimana teori pendidikan 'konsientisasi' yang menjadi pemikiran dasar Paulo Freire dipraktikkan, dan disajikan dalam bentuk uraian yang mudah ditangkap. Dengan cara penyajian dan analisis seperti ini diharapkan memberi inspirasi bagi setiap kalangan yang ingin mengetahui lebih mendalam metode pen­didikan Paulo Freire. Dasar terpenting dari me­todologi Freire ini adalah meletakkan peserta di­dik sebagai subyek pendidikan. Secara lebih khusus melalui metodologi Freire akan ditunjukkan bagaimana ideologi di balik metode penyeleng­garaan pendidikan dibongkar. Oleh karena itu pendirian teoretik dan paradigma pendidikan pembebasan Freirean memang akan memberi­kan inspirasi alternatif bagi semua, kalangan yang memerlukan perubahan pendidikan secara mendasar. Seperti, penting kiranya untuk di­kupas secara lebih mendalam bagaimana opera­sionalisasi dari berbagai ideologi serta perspek­tif dunia pendidikan yang berkembang.
Dalam perspektif kritis, tugas pendidikan adalah melakukan refleksi kritis, terhadap sistem dan 'ideologi yang dominan' yang tengah berlaku di masyarakat, serta menantang sistem tersebut untuk memikirkan sistem alternatif ke arah transformasi sosial menuju suatu masyara­kat yang adi. Tugas ini dimanifestasikan dalam bentuk kemampuan menciptakan ruang agar muncul sikap kritis terhadap sistem dan sruktur ketidakadilan sosial, serta melakukan dekon­struksi terhadap diskursus yang dominan dan tidak adil menuju sistem sosial yang lebih adil. Pendidikan tidak mungkin dan tidak bisa netral, objektif maupun dari kondisi ma­syarakat sekitar lembaga pendidikan.
Visi kritis pendidikan terhadap sistem dominan digunakan sebagai bagian pemihakan terhadap rakyat kecil dan yang tertindas. Meto­de ini digunakan bagi muneulnya sistem sosial baru yang lebih adil dan yang selama ini menjadi cita-cita pendidikan Freirean. Dalam perspektif Freirean, pendidikan harus mampu mencipta­kan ruang untuk mengidentifikasi dan menga­nalisis secara bebas dan kritis untuk transformasi sosial. Dengan kata lain tugas utama pendi­dikan adalah 'memanusiakan' kembali manusia yang mengalami 'dehumanisasi' karena sistem ­dan struktur yang tidak adil. Paham pendidikan Freirean ini cocok dengan paradigma transfor­matif. Pendidikan dalam perpektif ini juga men­jadi arena kritik ideologi. Dalam pelatihan bagi para buruh misalnya, peserta pendidikan perlu ditantang untuk memahami proses eksploitasi yang mereka alami, serta memikirkan proses pembebasan dari alienasi dan eksploitasi buruh, disamping penekanan pada teori motivasi kerja demi efisiensi yang hanya menguntungkan aku­mulasi kapital. Demikian halnya dalam konteks pendidikan pertanian misainya, para petani saat ini sering diarahkan hanya untuk memenuhi ambisi produktivitas dan efisiensi. Ambisi ini muncul karena pandangan peltanian yang di­dominasi oleh ideologi Revolusi Hijau dan rekayasa genetika. Dengan metodolog;i pendidikan Freirean, petani difasilitasi untuk memperta­nyakan relasi kekuasaan yang selama ini me­ngambil peranan besar dalam mempermainkan keidupan mereka. Dalam konteks itulah pilihan paradigma pendidikan memainkan peran strategis untuk proses perubahan dan trans­formasi sosial.

KONSIENTISASI SEBAGAI TEMA POKOK PENDIDIKAN FREIRE
Bagi penganut mazhab Freirean, hakikat pendidikan adalah demi membangkitkan kesa­daran kritis sebagai prasyarat proses humanisasi atau memanusiakan manusia. Kunci bagi proses pendidikan ini adalah 'konsientisasi' atau proses membangkitkan kesadaran kritis. Freire membagi ideologi pendidikan dalam tiga kerangka yang didasarkan pada kesadaran ideologi ma­syarakat. Dalam pandangan Freire pendidikan tak lain adalah 'proses memanusiakan manusia kembali. Gagasan ini berangkat dari suatu analisis bahwa sistem kehidupan sosial, politik, ekonomi, dan budaya, membuat masyarakat meng­alami proses 'demumanisasi'. Pendidikan seba­gai bagian dari sistem masyarakat justru men­jadi pelanggeng proses dehumanisasi tersebut. Secara lebih rinci dapat kita saksikan bagaimana pendidikan telah membungkam kesadaran kritis dan sukses dalam mengalienasikan peserta di­dik. Secara jernih Freire membagi-bagi tingkat perubahan kesadaran manusia dari kesadaran magis (magical consciousness), ke kesadaran naif (naival consciousness) dan bagaimana mencapai pada kesadaran kritis (critical con­sciousness), dengan piawai. Melalui penjelasan Freire akan terbuka kedok kepentingan yang se­lama ini menyelubungi sistem pendidikan.
Membongkar kesadaran naif dan magis untuk ditransformasikan menuju kesadaran kritis memsng bukanlah urusan sederhana, meng­ingat kuatnya pengaruh positivisme dalam diri banyak pendidik. Demikian juga kuatnya penga­ruh budaya fatalisme dan teologi kepasrahan akibat dominasi ideologi dominan. Dunia pendi­dikan diam-diam telah mewarisi pikiran positivisme seperti objektivitas, mendewakan empi­risme, netral dan tidak memihak pada yang ter­aniaya dan tertindas, berjarak dengan objek pendidikan (detachment), rasional dan bebas nilai. Dengan kandungan ideologi seperti ini pendidikan menghambat proses pembebasan dan menghilangkan watak dan benih emansipa­toris pada setiap proses pendidikan. Pendidik­an dalam perspektif positivistik merupakan pro­ses fabrikasi dan mekanisasi pendidikan untuk memproduksi keluaran pendidikan yang harus sesuai dengan pasar kerja. Pendidikan juga ti­dak toleran terhadap segala bentuk ‘non posi­tivistic ways of knowing’ yang disebut sebagai tidak ilmiah.
Pendidikan menjadi a-historis, yakni meng­elaborasi model masyarakat dengan mengisolasi banyak variabel dalam model tersebut. Peserta pendidikan dididik untuk tunduk pada struktur yang ada, mencari cara-cara dimana peran, nor­ma, dan nilai-nilai dapat diintegrasikan dalam sistem tersebut. Asumsi yang mendasari pendi­dikan itu adalah bahwa tidak ada masalah dalam sistem yang ada, masalahnya terletak pada sikap mental, pengetahuan, dan ketrampilan peserta didik, termasuk kreativitas, motivasi, dan keah­lian teknis peserta. Oleh karena itu dalam perspektif positivisme, pendidikan lebih dimaksud untuk mengembangkan kecerdasan, ketrampilan, dan keahlian peserta didik belaka, sementara komitmen, kyakinan, dan kepercayaan terhadap sistem yang lebih adil dan motivasi untuk menantang terhadap sistem sosial yang tidak adil, tidak disentuh, namun lebih sibuk mem­fokuskan pada bagaimana membuat sistem yang ada bekerja.
Dengan metodologi Paulo Freire, proses pengajaran menjadi bagian dari proses trans­formasi sosial dalam keseluruhan sistem perubahan sosial. Untuk meletakkan pendidikan dalam peran transformasi sosial, pertama pendi­dikan perlu melakukan analisis struktural ten­tang lokasi pemihakan pendidikan terlebih da­hulu. Tanpa visi dan pemihakan yang jelas ter­hadap siapa, pendidikan sulit diharapkan men­jadi institusi kritis untuk pembebasan dan peru­bahan sosial. Pendidikan juga perlu melakukan identifikasi isu-isu strategis dan menetapkan visi dan mandat mereka sebagai pendidikan untuk pemberdayaan. Tanpa pemihakan, visi, analisis, dan mandate yang jelas, pendidikan tanpa disadari telah menjadi bagian dari 'status quo' dan ikut melanggengkan ketidakadilan. Bahkan tanpa pemihakan yang jelas, pendidikan hanya­lah menjadi alat penjinakan atau alat hegemoni diri sistem dan ideologi kelompok dominan. Ideologi dan pendirian pendidikan ini akan ber­implikasi terhadap metodologi dan pendekatan, serta yang lebih penting dalam proses belajar ­mengajar.

PENDIDIKAN YANG MEMANUSIAKAN GURU DAN PESERTA DIDIK
Dalam pandangan Freire peranan guru sa­ngat strategis dalam setiap proses pendidikan. Inti dari pembebasan guru justru dengan mentransformasikan hubungan guru dengan peserta didik. Itu sebabnya dalam proses pendidikan, mengikuti pendekatan Freire, harus memung­kinkan terjadinya proses tranasformasi hubungan antara guru dan peserta didik, dari yang men­dominasi menjadi hubungan yang membebas­kan. Dalam perspektif pendidikan yang menin­das, para guru berperan dan menempatkan diri mereka justru sebagai subjek pendidikan, se­mentara itu peserta didik diletakkan sebagai ob­jek pendidikan. Dalam metodologi Freire proses hubungan itu perIu dijernihkan yakni bagaimana mentrasformasikan hubungan antara guru dan peserta didik menjadi hubungari yang 'dialogis'. Hubungan guru dan peserta didik di banyak pendidikan sering terjadi lebih bersifat hubungan atau relasi kekuasaan atau 'subjuga­tion' yakni proses penjinakan dan penundukan, terutarna pada pendidikan dan yang menjadikan peserta didik sebagai objek Bagi Freire, pendi­dikan yang meletakkan peserta didik sebagai ob­jek pendidikan, adalah pendidikan penjinakan dan oleh karenanya yang berlangsung adalah proses dehumanisasi. Para guru Freirean meng­anut suatu paradigma pendidikan tidak saja membebaskan dan mentransformasikan pen­didikan dengan struktur di luarnya, tapi juga bercita-cita mentransformasi relasi knowledge/ power dan dominasi hubungan yang 'guru-mu­rid' terlebih dulu.
Sungguhpun banyak orang pesimis untuk menjadikan pendidikan menjadi alat indepen­den untuk kesadaran kritis dan pembebasan, namun pendekatan Freire ini dapat membantu para guru optimis terhadap pendidikan yang membebaskan. Freire telah berjasa dalam mem­berikan landasan teoritik pendidikan sebagai proses transformasi dan pembebasan terutama relasi yang tidak demokratis di dalam dunia penCreated by DPE, Copyright IRIS 2005didikan itu sendiri. Ini berarti menggugat watak otoriter dan penjinakan ideologis yang tersem­bunyi dalam setiap pendidikan. Dengan demi­kian diperlukan suatu usaha kolaborasi antara guru dan peserta didik untuk secara bersama­-sama melakukan transformasi relasi mereka un­tuk terbebas dan sistem yang menindas. Tujuan utama pendidikan yang menggunakan ideologi Freire adalah pendidikan yang kritis, lebih ega­liter, dan demokratis.

SEBUAH POSTULAT: FREIRE MEMBELA YANG TERINDAS
Pendekatan Paulo Freire dapat menjadi ilham bagi dunia pendidikan kita yang penuh dengan masalah. Memang pandangan pedidikan Freire telah lama diperbincangkan oleh kalangan pendidik, namun hampir tidak terjangkau oleh praktisi pendidik yang memproklamasikan diri sebagai pengikut Freire. Ketidak terjangkauan ini mungkin karena masih sedikitnya buku-puku terjemahan Freire dan juga kecilnya dukungan dari pemerintah. Kini situasinya sudah banyak berubah, buku maupun kebijakan dapat didorong oleh kalangan pendi­dik untuk segera diubah. Karena pada dasarnya gagasah maupun pemikiran Freire akan me­nyumbang banyak bagi proses pernajuan pendidikan. Pikiran-pikiran Freire juga akan banyak membantu pemahamari dan menyibak secara terang kepentingan yang tersembunyi dalam praktik pendidikan sehari-hari. Untuk alasan-­alasan itulah gagasan-gagasan Freire memiliki kemungkinan untuk dipraktikkan.

Lewat pendidikan gaya Freire, kaum ter­tindas, seperti kaum buruh yang tereksploitasi namun menerima eksploitasi mereka dengan sukarela, akan terbangun kesadarannya. Para buruh tani, kaum miskin kota, masyarakat adat, dan kelompok-kelompok tertindas lainnya, me­lalui pendidikan Freire, didorong untuk membe'baskan diri dari segala bentuk penindasan. Dibe­baskan untuk menjadi manusia kembali, manu­sia yang bebas dari penindasan. Dengan me­manfaatkan metode Freire, pendidikan akan berlangsung dalam kesadaran yang membebas­kan. Melalui metode Freire dominasi pada sis­tem pendidikan akan dienyahkan. Tentu ini adalah sebuah proses yang akan membawa negeri ini ke dalam masa depan yang lebih baik. Sebuah masa depan yang menjanjikan keberpihakan kepada kaum yang tertindas.

ANALISIS KEBIJAKAN PENDIDIKAN PERSPEKTIF EKONOMI-POLITIK
PEMBAJAKAN SISTEMIK PENDIDIKAN NASIONAL OLEH PASAR, NEGARA DAN REKTORAT
Salah satu isu living issue global dan nasional adalah soal pendidikan. Setiap tahun selalu muncul isu pendidikan. Kontroversi pun merebak. Hal ini tidak lepas dari perkembangan nasional. Kecenderungan internasional juga demikian. Terjadi pergeseran filsafat dan paradigma pendidikan seiring terjadinya pergeseran formasi sosial. Salah satu perkembangan terpenting yang kemudian menjadi  medan makna perjuangan mahasiswa adalah proses integrasi pendidikan secara total dalam sistem kapitalisme. Artinya, pendidikan bukan sekedar proses social yang seolah bebas nilai. Namun sarat dengan muatan ekonomi politik yang strategis. Kajian kebudayaan menyebutnya sebagai bagian dari manifestasi komodifikasi kapitalisme.  Disebut total sebab dalam kerangka tersebut, bukan hanya terjadi komodifikasi ilmu (Lyotard: 1997): Menemukan pergeseran bahwa universitas sekarang bukan lagi mementingkan penemuan apakah sesuatu itu benar atau tidak, melainkan apakah sesuatu itu berguna/ dapat dijual atau tidak, namun juga pendidikan berjalan di atas logika bisnis. Proses inilah yang menghantarkan pendidikan memproduksi nalar instrumental (Habermas), maupun rasionalitas teknologis (Marcuse).
Maka, tidak heran jika Susan Strange, ahli ekonomi politik, menyebut bahwa salah satu pilar dari empat pilar kapitalisme  adalah knowledge structure. Mesin produski pengetahuan tiada lain institusi-institusi pendidikan. Sekali dikonsolidasikan, universitas, seperti dikatakan seorang ahli pembangunan, menentukan persepsi dan realitas social. Inilah yang dipergoki kalangan poststrukturalis yang dengan jitu menelanjangi relasi kuasa pengetahuan. Setiap pengetahuan selalu mengandaikan relasi kuasa tertentu. Sebab pengetahuan berkaitan dengan subjek yang menyusun, menyebarkan, dan merepreduksi pengetahuan yang sarat dengan kepentingan kekuasaan.  Di sinilah pendidikan sebagai instrumen transformasi sosial, atau, dalam bahasa Chiko Mendez, sebagai “awal pergerakan” menjadi realisme utopis. Pada logika inilah, dan, jika mengikuti mereka, logika  pasar, mahasiswa sebagai salah satu stakeholder  pendidikan, wacana dan praktek otonomi pendidikan (BHMN), seharusnya dibaca. Pembacaan ini akan diletakkan dalam konteks pergeseran di tingkatan global dan nasional.

Melacak Konteks Global

Konteks ekonomi politik global sudah dibahas dalam sesi pertama, karenanya tulisan ini hanya akan fokus dalam konteks pendidikannya. Dalam bahasa akademik, pendidikan juga menjadi entitas social yang globalized. Karenanya, memahami carut marut pendidikan nasional juga tidak lepas dari anarki structural global. Transformasi structural dalam dataran ekonomi dan politik secara tak terelakkan mempengaruhi dunia pendidikan. Kaitannya adalah transformasi ekonomi mempengaruhi struktur pasar tenaga kerja global. Tenaga kerja global (yang dalam bahasa globalisasi disebut mendorong pergerakan orang) berkaitan dengan terutama institusi pendidikan tinggi.[1]
 Pertama, transformasi aktivitas industri (sector sekunder) menuju sector tersier  membutuhkan bukan hanya kualifikasi tenaga kerja yang terampil, tapi  menguasai system teknologi baru yang dipakai secara luas dunia profesional. Penguasaan teknologi ini penting untuk mempercepat pengambilan keputusan dengan akurasi tinggi. Kedua,  proses neoliberalisasi telah meningkatkan mobilitas pasar tenaga kerja yang berkualitas. Gejala ini telah meningkatkan kompetisi tenaga kerja luar biasa. Ketiga, bersatunya kekuatan ekonomi dan politik  Eropa meningkatkan arus kerja sama dalam berbagai bidang.  Pendidikan akan menjadi jantung riset untuk inovasi-inovasi ekonomi, social, dan politik. Keempat, proses neoliberalisasi berdampak pada menunrunnya peran nation-state yang pada gilirannya mengurangi investasi sector-sektor strategis janka panjang seperti pendidikan, kesehatan, perumahan, dan system pensiun.  Keempat proses tersebut mendorong pendidikan di Eropa semakin kian terprivatisasi, hingga menuju proses individualisasi.

Melacak Konteks Nasional
Konteks politik kebijakan otonomi pendidikan (No.61/1999) adalah pemerintahan Habibie. Artinya, periode tersebut merupakan periode transisional pasca lengsernya Soeharto dari kursi kepresidenannya. Konteks ini dipahami fase transformasi struktural dari kapitalisme berbasis negara (state-led-development) ke fase neoliberalisme yang ditandai oleh tidak dilibatkannya lagi negara sebagai “aktor” akumulasi modal.  Artinya transformasi struktural neoliberal didorong bukan hanya dalam wilayah ekonomi politik, namun juga dalam konteks pendidikan. Pergeseran kelembagaan ekonomi politik neoliberal relatif terkonsolidir, sedangkan di tingkatan aktor politik Habibie mendapatkan serangan kuat terhadap legitimasi politik kepemimpinannya.
Konteks ekonomi saat itu adalah masih dalam fase recovery ekonomi akibat krisis moneter yang melanda Indonesia sejak tahun 1997. Namun  karena paradigma recovery ekonomi yang dipakai adalah neoliberal, bukannya populis, atau sosialistik, maka pinjaman hutang kepada lembaga keuangan internasional (IMF/ WB) tak terelakkan. Pada saat yang sama, sejak tahun 1997 dan tahun berikutnya, adalah periode jatuh tempo hutang-hutang, baik swasta maupun pemerintah.  Pada saat yang sama kurs rupiah masih anjlok. Hal ini berdampak pertama, terkurasnya atau bangkrutnya keuangan negara, kedua, terjadinya proses perampokan aset-aset rakyat melalui mekanisme yang disebut dengan debt-to-equity-swap. Secara garis besar,  persoalan ekonomi Indonesia terkait dengan dua hal besar. Pertama, neoliberalisasi di Indonesia (privatisasi, swastanisasi, deregulasi, pencabutan subsidi), dan Kedua, aspek internal (domestic affairs) yang berkaitan dengan hal di atas. Proses neoliberalisasi di Indonesia sebenarnya sudah didorong sejak lama, bahkan sejak tumbangnya ORLA. Hanya saja ekstensifikasi dan intensifikasi neoliberalisasi di Indonesia memuncak setelah krisis 1997, yang menjadikan Indonesia negara neoliberal, bahkan lebih liberal di bidang pertanian ketimbang Jepang atau Amerika Serikat.[2]
Pada pra-reformasi, ekonomi Indonesia diatur dengan managemen Keynesian. Andrew Macintyre (disertasinya, 1990), yang mengkaji bisnis tekstil, farmasi, dan asuransi, di Indonesia berhasil memberikan konfigurasi ekonomi Indonesia.  Dalam bidang tekstil, konfigurasinya dibangun atas dasar pilar buruh yang murah (bahkan lebih murah dibanding China dan India), monopoli impor barang-barang modal, dan  perselingkuhan dengan elite politik.  Sementara Indonesia, pada saat itu, di bidang farmasi konfigurasinya didominasi oleh mekanisme penentuasn harga pasar, system distribusi, margin keuntungan yang tinggi yang dipungut jaringan distribusi. Dengan mekanisme ini, beaya pengobatan Indonesia termasuk termahal di dunia setelah jerman dan swiss.
 Hanya saja, mahalnya beaya tersebut diiringi mirahnya produk farmasi di Indonesia. Kondisi tersebut jelas kurang menguntungkan bagi kerangka kerja kapitalisme. Maka, kemudian, didorong operasi untuk melakukan transformasi structural ekonomi Indonesia. Inilah transformasi neoliberal di Indonesia. Hasilnya, berbagai kebijakan protektif, perselingkuhan,  berbagai perilaku pencarian rente, disapu habis oleh angin neoliberal.  Kontradiksi internal, persaingan internal, dan tuntutan akumulasi modal menjadi variable penggeraknya. Pasca-reformasi kemudian dilembagakan dalam bentuk berbagai  privtaisasi, swastanisasi, deregulasi, hingga pencabutan subsidi.[3]

Memahami Konsep Badan Hukum Milik Negara
BHMN, yang  sering juga disebut sebagai “otonomi pendidikan” secara normatif dianggap sebagai pemberian lebih luas kepada perguruan tinggi untuk mengelola dan menata sumberdaya secara mandiri. Dengan otonomi, perguruan tinggi diberi kebebasan untuk menyusun program, struktur organisasi, manajemen, kurikulum, SDM, hingga infrastrukturnya. Universitas, misalnya, berhak menyusun kurikulum tanpa terbebani dengan kurikulum nasional, mengangkat pegawai, membentuk fakultas atau sebaliknya, menghapus suatu fakultas.[4] Konsekuensi pemberian otonomi, subsidi pemerintah berkurang, dari 65% persen menjadi hanya sekitar 35%. Bantuan pemerintah ini disebut dengan blockgrand. Jika dulu dana SPP, misalnya, disetor  dulu ke negara, kemudian untuk mengucurkannya menunggu proposal dari pemerintah, sekarang dana tersebut dikelola secara mandiri. Sisa kekurangannya dibebankan kepada mahasiswa, bantuan-bantuan, dan usaha-usaha bisnis universitas. Di titik inilah kemudian universitas diberi peluang untuk menyelenggarakan kegiatan bisnis yang berorientasi profit. Hanya saja, dalam hal kegiatan bisnis dibatasi oleh pasal 2 PP 61/99 dengan sifat nirlaba (semua keuntungan dikembalikan lagi kepada fungsi utama perguruan tinggi).  Bisnis yang dilakukan universitas ini tidak berada dalam struktur organisasi universitas, namun di bawah sayap bisnisnya.
Membongkar Nalar Otonomi Pendidikan
Pertama, Nalar Kolonial/ Imperial/ Pasar. Nalar ini hendak meletakkan pendidikan sebagai ladang akumulasi keuangan, proses produksi dan reproduksi sosial terjadi, strategi kebudayaan dalam pertarungan hegemoni, yang pada akhirnya akan menghasilkan suatu bentuk objektifikasi kesadaran sosial yang terdesain. Nalar ini mengubah secara radikal sejarah pendidikan secara kelembagaan sebagai kekuatan transformatif menjadi secara personal atau sekelompok elite dengan keasyikan persetubuhannya dengan realitas yang memproduksi komodifikasi dan  fetisisme pendidikan.
Kedua, Nalar Negara. Otonomi pendidikan merefleksikan kegagalan negara menjalankan tugasnya kepada warga negara. Pendidikan merupakan hak sipil yang harus dipenuhi warga negara. Kegagalan ini merupakan hasil dari proses panjang pembusukan struktural Orba dan sapuan neoliberalisme yang memporakporandakan struktur ekonomi politik yang tidak memadahi lagi menjamin kebebasan pasar. Respons terhadap kondisi tersebut, dalam konteks pendidikan, melahirkan otonomi pendidikan untuk memperingan beban keuangan negara. Strategi ini di-launching dengan konstruksi politik wacana untuk mencegah pemborosan anggaran, himpitan keuangan negara yang tengah kolaps, serta untuk menjawab tantangan globalisasi. Inilah nalar negara. Negara hendak mengatakan bahwa kondisi objektif negara tidak memungkinkan lagi memberikan subsidi pendidikan kepada rakyat. Atas dasar itu secara cantik logikanya dilanjutkan dengan mengatakan bahwa  beban dana pendidikan harus dipikul bersama masyarakat.  Inilah nalar tak terkatakan negara di balik otonomi pendidikan.
Ketiga, Nalar Rektorat. Salah satu institusi yang tidak terlepas dari proses pelembagaan otonomi pendidikan adalah rektorat. Bahkan dalam prosesnya, institusi ini yang mendesain konstruksi otonomi pendidikan. Nalar rektorat bertumpu pada tiga hal: 1] Keharusan universitas melakukan transformasi internal untuk menjawab tantangan globalisasi. 2] Memahami kondisi keuangan negara  yang pada saat ini masih kedodoran. 3] Yang paling memahami dan berkompeten atas konsep otonomi pendidikan adalah mereka. Ini tercermin dalam proses perumusan yang tidak melibatkan seluruh civitas akademika seperti mahasiswa secara signifikan.
Keempat, Nalar Masyarakat. Pendidikan merupakan hak dasar setiap warga negara.  Untuk meningkatkan harkat dan martabatnya masyarakat percaya pendidikan merupakan jalan terbaik. Pada titik ini nalar masyarakat  dapat dibagi dua. 1] Nalar yang memandang pendidikan sebagai genesis transformasi sosial tanpa melihat arus dan gerak struktural di balik proses pendidikan, serta masih melihat pendidikann sebagai kewajiban mereka untuk memenuhinya. Nalar ini terbentuk melalui proses panjang secara sistemtik. 2] Nalar yang melihat secara kritis pada substansi pendidikan dan soal tanggung jawab negara dalam pendidikan. Dalam optik ini, substansi pendidikan sebenarnya instrumen kapitalisasi, dan jika diletakkan dalam konteks trasnformasi sosial, pendidikan hanya akan memperkukuh struktur sosial kolonial.[5]

Analisis Akar Masalah Keterpurukan Pendidikan: Perspektif Ekonomi-Politik
Dengan melihat paparan di atas, menjadi jelas bahwa  pendidikan menjadi arena pertarungan antara negara, pasar, dan masyarakat. Pertarungan ini menghasilkan konfigurasi negara-pasar vis-à-vis masyarakat. Negara bersekutu dengan kekuatan pasar untuk menjadikan pendidikan sebagai komodifikasi kapitalisme.
Masyarakat sendiri pada dasarnya telah lama menuntut otonomi pendidikan. Sebab selama ini pendidikan sudah terlalu jauh dipakai sebagai instrumen mempertahankan kekuasaan. Penetrasi negara dalam pendidikan, misalnya, terlihat dalam proyek ideologisasi melalui penataran P4, PMP, kewiraan, dan campur tangan negara dalam berbagai proses kebijakan kampus. Instrumentalisasi tersebut menjadi bagian dari lokus perjuangan mahasiswa.
Desakan tuntutan otonomi ini kemudian dengan licik “dibajak” oleh negara  dengan konsep Badan Hukum Milik Negara. Dengan konsep BHMN ini, negara memang memberikan otonomi relatif terhadap universitas, namun sebatas dalam hal-hal administratif dan manajerial. Hanya saja, dalam waktu bersamaan, dalam kanal otonomi itulah diselipkan agenda ekonomi politik tersembunyi dengan mendorong “otonomi keuangan”. Sekalipun demikian, secara politik, pemerintah masih tidak mau melepaskan kontrol politiknya terhadap pendidikan. Dalam PP tersebut disebutkan bahwa pemerintah, melalui mendiknas, memiliki saham atau suara 35% dalam majelis wali amanat, lembaga yang secara politik berwenang menentukan rektor (pasal 14 (3) PP 61/99).  Alasan bahwa itu bagian dari upaya pemerintah untuk mengontrol agar tidak terjerumus di luar kewenangannya, merupakan alasam ahistoris, dan  semakin menegaskan  bahwa pemerintah tidak mempercayai masyarakat sebagai kekuatan kontrol.  Sejarah menunjukkan gurita kekuasaan negara dalam pendidikan  tidak pernah bermakna sebagai kontrol untuk menjaga kebebasan akademik dan politik di kampus.
Alasan negara bahwa negara tidak memiliki dana untuk membiarkan subsidi pendidikan hanyalah alasan akal-akalan dari negara. Argumentasi tersebut  runtuh baik di tingkatan teoretik maupun praksis. Secara teoretik, BHMN merupakan implikasi tak terelakkan dari otonomi pendidikan, sedangkan otonomi pendidikan merupakan  implikasi dari konstruksi Letter of Intent IMF yang mengharuskan pemerintah memangkas subsidi sosial.  Artinya, kebijakan otonomi pendidikan merupakan strategi diskursif untuk menyembunyikan maksud tersembunyinya, yakni menaikkan beaya pendidikan.  Implikasi realnya: semakin banyak rakyat yang tidak dapat menikmati pendidikan.
Pencabutan subsidi pendidikan pada dasarnya hanya mengurangi tidak lebih dari 20 trlyun. Bandingkan dengan data berikut ini:  bahwa menurut Kwik Kian Gie, pertahun uang negara yang dikorup-dirampas sebesar 444 trilyun rupiah (dengan rincian 90 trlyun berasal dari ikan, pasir, dan kayu yang dimaling, 240 trilyun pajak yang dibayarkan tetapi tidak masuk ke kas Negara, 40 trilyun subsidi perbankan yang muspro, 74 trilyun kebocoran APBN). Jumlah tersebut berarti lebih besar dari keseluruhan APBN tahun 2003. Transparancy International pada tahun 2003 memberikan ranking sebagai Negara terkorup ke 122 dari 133 (paling korup). Artinya, persoalannya sebenarnya bukan pada ketidakmampuan negara secara objektif untuk memberikan pendidikan murah bagi rakyat, namun soal keberpihakan politik.
Dari berbagai logika di atas, terbangun rasionalitas dalam otonomi pendidikan: tantangan global memang real, dan karenanya harus direspons secara memadahi. Dunia pendidikan memegang kunci dalam konteks ini. Efiesiensi, akuntabilitas, transparansi dalam pengelolaan pendidikan juga merupakan keharusan tak terelakkan. Jika otonomi pendidikan diletakkan dalam konteks ini, maka hal itu memang merupakan kebutuhan real. Hanya saja dua tuntutan di atas menjadi naif dan menipu jika kemudian diterjemahkan dalam konteks otonomi keuangan. Pemaknaan ini manipulatif dan justru berbahaya bagi masa depan bangsa jika melihat problem real bangsa Indonesia. Kebijakan ini mengeksekusi hak rakyat akan pendidikan.
Dengan demikian, Konsep otonomi pendidikan atau BHMN harus direstrukturusasi secara radikal. Radikalisasi tersebut mencaku pada aspek perluasan konsep otonomi akademik dan politik yang melibatkan  bukan hanya kalangan elite perguruan tinggi, namun juga mahasiswa dan elemen perguruan tinggi lainnya, dan pada saat yang sama soal subsdidi keuangan tetap menjadi tanggung jawab negara (pengekslusian konsep otonomi keuangan dalam otonomi pendidikan). Otonomi terlalu sempit jika dimaknai dalam konteks manajerial dan administratif, namun juga harus menyenuh soal desain kurikulum yang pararel dengan basis sosial, metode kuliah, membangun relasi demokratik dalam kampus dan lainnya. Hanya dengan Radikalisasi tersebut persoalan real pendidikan Indonesia dapat direspons.
Ketidakjelasan basis filsafat dan paradigma pendidikan Indonesia sehingga berkali-kali mengalami reorientasi yang tidak penah jelas. Dimulai pada awal kemerdekaan dengan krikulum 1947, kemudian kurikulum 1964, kemudian berganti lagi pada kurkulum 1968, kurikulum 1975, kurikulum 1984, kurikulum 1994, kurikulum mutakhir yang disebut kurikulum berbasis kompetensi (2004).
Problem pada dalam sumber daya pendidikan Indonesia Menurut Depdiknas, kekurangan guru secara nasional mencapai angka 427.903 orang, sementara dalam APBN tahun 2004 hanya dialokasikan dana untuk mengangkat guru Bantu sejumlah 80.000 orang.  Sementara menurut versi ketua PGRI, Mohammad Surya (kompas, 17 Desember 2003), guru yang tersedia hanya berjumlah sekitar 2,2 juta, pada saat yang sama jumlah yang dibutuhkan mencapai dua kali lipatnya, dan setiap tahun sekitar 2000 guru memasuki masa pensiun.
Problematika pendidikan Indonesia di atas masih diperparah dengan berbagai belenggu idoelogis yang berasal dari kultur feudal ratusan tahun hingga yang secara sistematik dilembagakan dalam system pendidikan. Berbagai belenggu di atas, misalnya, ideology neoliberal yang mensubordinasikan pendidikan dalam kepentingan akumulasi modal, ideology militerisme yang secara sistemik menyeregamkan mulai cara berpakaian sampai cara berpikir peserta didik, ideologi positifistik yang tidak berakar dalam dunia batin masyarakat Indonesia, menjadikan pendidikan gagal sebagai instrumen transformasi sosial.

ANALISIS IMPLEMETASI KEBIJAKAN DAN PASCA PEMBATALAN UU BHP
REPARADIGMATISASI PENDIDIKAN DI ERA GLOBAL
Ignas Kleden memberikan analisa kritis bahwa pendidikan nasional. Pertama, harus menciptakan masyarakat yang mempunyai kemampuan berfikir logis dan bertindak logis. Kedua, pendidikan humaniora harus dibedakan dari ilmu-ilmu humaiora dalam pengertian epistemologis, sehingga pendidikan humaniora menekankan kualitas-kualitas manusiawi dari peserta didik. Ketiga, pendidikan bukan hanya menciptakan orang dengan keahlian, tetapi orang-orang dengan kemampuan belajar tinggi.[6]
Tanpa mengabaikan otoritas negara dan arus globalisasi yang terus menggerus kekuatan masyarakat sipil, sistem pendidikan Indonesia harus merobah fundamen paradigma pendidikan. Pertama, perlu penataan sistem pendidikan yang beradaptasi dengan kekuatan global. Kedua, penegakan supremasi hukum dan kedaulatan politik nasional demi menciptakan kondusifitas segala sektor kehidupan, demokrasi, agama, pendidikan, sosial, politik, ekonomi, budaya, hankam. Ketiga, paradigma pendidikan untuk semua kalangan—education for all—dan pendidikan sepanjang hidup—long life education—harus menjadi mainstream kebijakan pendidikan nasional.

Pendidikan Revolusioner: Melawan Kapitalisme
Pendidikan revolusioner harus dipandu oleh filosofi pendidikan revolusioner. Sasaran pendidikan harus mengenali dan mengakui keterkaitan timbal balik antara kehidupan sosial dengan pendidikan. Pendidikan revolusioner harus menyikapi perkembangan masyarakat kapitalis. Pendidikan harus memposisikan dirinya sebagai alat kritik egalitarian dan anti-otoritarian kontemporer terhadap perkembangan wacana pendidikan dan masyarakat. Zaman dimana sekolah murah tampaknya memang sudah usai. Bahkan keinginan untuk menjadi guru yang manusiawi kini menjadi suatu keinginan yang tidak realistis. Hanya beberapa gelintir sekolah yang memberikan imbalan ‘manusiawi’ pada profesi guru. Jika diusut lebih jauh, komersialisasi pendidikan bersinggungan erat dengan tatanan serta pergeseran formasi kelas sosial yang berlangsung saat ini; formasi sosial yang meluluhlantakkan struktur dan sistem sosial yang lama. Termasuk didalamnya adalah dunia pendidikan. Dunia pendidikan adalah lingkaran yang berisi aktor-aktor yang mengalami perubahan sosial besar. Dunia harus sujud sepenuhnya pada demokrasi liberal yang saat ini menguasai arena kehidupan sosial. Tatanan ekonomi global ini yang menyebabkan kapitalisasi pendidikan.
Mengenai kapitalisme, kritik Karl Marx terhadap kapitalisme tidak hanya ditujukan kepada distribusi kekayaan, tetapi kapitalisme dipandang melanggengkan buruh menjadi terpaksa, teralienasi dan tidak bermakna, sehingga transformasi manusia menjadi ‘sebuah barang aneh yang timpang’. Emansipasi keterasingan manusia dalam masyarakat kapitalisme adalah usaha bagaimana menemukan hakekat manusia yang terhegemoni ideologi kapitalisme yang mengeksploitasi hakekat dan mengasingkan manusia. Menurut Franz Magnis Suseno ciri masyarakat modern adalah (1) Masyarakat berdasar industrialisasi dan perubahan total gaya hidup, (2) lahirnya masyarakat infomasi yang tidak tergantung alam, (3) Terjadi pertarungan ideologi, politik, budaya dan ekonomi modernisasi atau globalisasi hakekatnya bukan hanya perubahan institusional-melainkan juga perubahan kesadaran manusia. Problem modernitas menimbulkan budaya materialisme, konsumerisme, kriminalitas, pelecehan seksual, permisif, hedonisme dan tindakan asusila lainnya. Globalisasi telah memunculkan-masyarakat mekanis-masyarakat global yang pluralistik dan kapitalistik.
8 Pa
Globalisasi dan modernisme mempunyai kaitan erat dengan kapitalisme pendidikan, dimana pendidikan dijadikan ajang akumulasi modal, dan menjadi ajang bisnis elit-elit pendidikan. Maka tidak heran kalau banyak muncul lembaga pendidikan yang berorientasi pasar (market oriented). Seiring berkembangnya pasar modal, maka semakin tinggi pula kebutuhan tenaga kerja. Dan yang paling efektif untuk menghasilkan tenaga kerja pasar adalah lembaga pendidikan. Pada titik inilah lembaga pendidikan telah kehilangan ruh dan mengalami disorientasi paradigmatik dimana pendidikan seharusnya berperan sebagai medan transormasi sosial bukan sebagai alat reproduksi sosial. Masyarakat pasar global dengan perangkat industri dan perdagangan bebas menantikan out put pendidikan yang sesuai dengan kompetensi dalam berbagai bidang kerja.
Tantangan ekonomi liberal telah berdampak pada; pertama, semua negara terpacu untuk membuka pasar dan mecabut semua subsidi yang memiliki tujuan perlindungan. Pasar yang dibuka ini diharapkan akan memacu suatu negara untuk berkompetisi secara terus menerus. Kedua, melakukan privatisasi terhadap sektor publik. Pemerintah mulai dilucuti agar tidak melakukan kontrol, tetapi membiarkan sektor swasta untuk mengambil alih. Keyakinan ketiga, bahwa sistem ekonomi liberal menempatkan Negara sebagai penjamin bagi kelangsungan sistem ekonomi pasar. Terobosan ini bermula pada pencopotan semua layanan publik, namun lama kelamaan menjadi upaya untuk melakukan kapitalisasi atas semua bentuk layanan publik. Termasuk dalam hal ini pendidikan yang dulunya berorientasi pada pencerahan sekarang berorientasi pasar.
Posisi pendidikan dalam masyarakat global seharusnya melakukan refleksi kritis terhadap the dominant ideology kearah tranformasi sosial. Dan tujuan pendidikan adalah menciptakan ‘manusia ideologis’ yaitu manusia yang mempunyai kesadaran kritis. Manusia saat ini telah diberangus oleh perkembangan teknologi yang menciptakan kesadaran semu. Manusia menjadi sangat tergantung terhadap kemudahan-kemudahan teknologi. Secara terus-menerus manusia menjadi budak kapitalisme. Masyarakat modern adalah masyarakat yang mekanis dan statis, dimana manusia telah manusia rakus mengkonsumsi produk-produk industri.

Komoditisasi Pendidikan
Dewasa ini umat manusia tengah mema­suki suatu zaman baru yang ditandai dengan menguatnya paham Pasar bebas, yang dike­nal sebagai zaman Globalisasi. Tradisi umat manusia untuk mempertahankan eksistensi mereka melalui pendidikan mendapat tanta­ngan, karena pendidikan ternyata bagi seba­gian manusia dapat digunakan untuk meng­akumulasi kapital dan mendapatkan keuntu­ngan. Bagaimana mungkin tradisi manusia tentang visi pendidikan sebgai strategi untuk eksistensi manusia yang telah di reproduksi berabad-abad selama ini, diganti oleh suatu visi yang meletakkan pendidikan sebagai ko­moditi. Tapi apa sesungguhnya yang mendo­rong terjadinya komoditisasi pendidikan ini?
Pendidikan diperlakukan sebagai komo­diti diperkuat sejak dikembangkannya ditandatanganinya kesepakatan GATT, di ma­na dunia secara global telah memihak pada kepentinganpasar. Hal itu dilakukan demi membuka peluangbagi Trans National Cor­porations (TNCs) untuk ekspansi. Salah satu usaha strategis mereka adalah mempengaru­hi kebijakan negara negara Selatan untuk me­licinkan "jalan" bagi TNCs untuk beroperasi. Mekanisme dan proses Globalisasi yang di­perjuangkan oleh para aktor utama, Globali­sasi yakni TNCs, Bank DunialIMF melalui kesepakatan yang dibuat di WTO, sesung­guhnya dilandaskan pada suatu ideologi yang berangkat dari kepercayaan bahwa per­tumbuhan ekonomi hanya dapat dicapai se­bagai hasil normal dari "kompetisi bebas". Kompetisi Pasar Bebas merupakan suatu kompetisi yang agresif akibat dari terjaganya mekanisme pasar bebas. Kesemua keyakinan ini berangkat dari suatu pendirian bahwa "pasar Bebas" itu efisien.
Pasar bebas diyaki­ni sebagai cara yang tepat untuk mengaloka­sikan sumber daya alam yang langka, demi untuk memenuhi kebutuhan manusia. Harga barang dan jasa selanjutnya menjadi indikator apakah sumber daya telah habis atau masih banyak. Kalau harga murah itu berarti perse­diaan memadai. Harga mahal artinya pro­duknya mulai langka. Harga tinggi maka o­rang akan menanam modal ke sana. Oleh se­bab itu harga menjadi tanda apa yang harus diproduksi. ltulah alas an mengapa Neo-Libe­ral ekonomi tidak ingin pemerintah ikut cam­pur, serahkan saja pada mekanisme dan hu­kum pasar untuk bekerja. Keputusan indivi­dual atas interest pribadi diharapkan men­dapat bimbingan dari invisible handsehingga masyarakat akan mendapat berkah dari ribu­an keputusan individual tersebut. Dan pada akhirnya kekayaan yang dikuasai oleh sege­lintir orang tersebut akan trickle down kepa­da anggota masarakat yang lain. Oleh karena itu sedikit orang tersebut perlu difasilitasi dan dilindungi. Kalau perlujangan dipajaki. Pen­dirian ini pada prinsipnya tidak bergeser dari paham Liberalisme yang dipikirkan Adam Smith dahulu kala dalam karyanya The Wealth of Nations (1776).
Paham inilah yang sejak lama berusaha untuk membatasi peran pemerintah dan lebih memberi kesempatan pada perusahaan peru­sahaan swasta untuk menjadi aktor dalam bidang ekonomi di bawah situasi persaingan bebas yang diciptakan oleh gagasan "Pasar Bebas". 'Biarkan pasar menentukan harga'. Akibat dari pendirian pasar bebas tersebut a­da sejumlah akibat yang nantinya akan ber­pengaruh terhadap visi pendidikan dan akan memaksa komodifikasi pendidikan terjadi.
Pertama, mereka menuntut untuk mem­bebaskan perusahaan swasta dari campur ta­ngan pemerintah, misalnyajauhkan pemerin­tah dari campur tangan di bidang perburuh­an, investasi, harga serta biarkan mereka mempunyai ruang untuk mengatur diri sendi­ri, untuk tumbuh dengan menyediakan kawa­san pertumbuhan. Di bidang pendidikan, im­plikasi pendirian ini adalah, pemerintahjuga harus melepaskan semua sekolahnya, dan se­rahkan urusan pendidikan kepada perusaha­an swasta.
Kedua, mereka juga menuntut a­gar negara menghentikan subsidi kepada rak­yat karena hal itu selain bertentangan dengan prinsip Neoliberal tentang jauhkan campur tangan pemerintah juga bertentangan dengan prinsip pasar dan persaingan bebas. Oleh ka­rena itu pemerintah harus melakukan privati­sasi semua perusahaan milik negara term a­suk lembaga pendidikan negara maupun se­mua bentuk "subsidi pendidikan" kepada rakyat harus dihentikan dan biarkan meka­nisme pasar dalam sektor pendidikan yang menentukan. Gagasan untuk menghapuskan subsidi terhadap universitas negara maupun penghapusan segala bentuk subsidi pendidik­an ini berangkat dari asumsi bahwa perusa­haan negara pada dasarnya dibuat untuk me­laksanakan subsidi negara pada rakyat. Oleh karena subsidi pendidikan akan menghambat persaingan bebas dalam bidang pendidikan, maka subsidi pendidikan harus dihapus. Me­reka juga percaya bahwa pasar bebas dalam pendidikan akan sulit diwujudkan jika masyarakat masih mempertahankan semangat dan ideologi ‘pendidikan sebagai hak semua manusia’ karena hal itu akan menghalangi pertumbuhan ekonomi disektor pendidikan.
Akibat Liberalisasi pendidikan ini, pen­didikan akan hanya mampu dijangkau oleh mereka yang secara ekonomi diuntungkan oleh struktur dan sistim sosial yang ada. Se­mentara itu bagi mereka yang datang dari ke­las yang dieksploitasi secara ekonomi tidak akan mampu menjangkau pendidikan. Deng­an kata lain, pendidikan telah menjadi suatu komoditi, bagi mereka yang memiliki uang dan mampu untuk membayarnya, akan me­nikmati pelayanan dan mutu pendidikan, se­mentara bagi mereka yang tidak mampu membayar pendidikan tidak akan mendapat akses dan pelayanan pendidikan. Pendidikan yang sejak lama menjadi usaha untuk mem­pertahankan eksistensi dan budaya manusia, saat ini tengah mengalami pergeseran orien­tasi, visi maupun ideologi yang berakibat an­caman bagi eksistensi manusia sendiri.

Privatisasi Pendidikan
Dunia pendidikan kita tidak pernah lepas dari masalah. Selalu muncul polemik, mulai dari nasib guru, gedung sekolah yang roboh, uang sekolah yang mahal, hingga masalah komersialisasi pendidikan, terutama di perguruan tinggi. Ketika pendidikan dihargai sangat mahal, maka protes pun melayang dari berbagai pihak. Bagaimanapun, saat pendidikan mahal diterapkan, akan timbul rasa ketidakadilan dalam masyarakat, terutama bagi kaum papa. Sebagai sebuah media pembebasan, pendidikan semestinya menjadi milik tiap anggota masyarakat tanpa kecuali. Negara harus menyediakan sarana-sarana pendidikan, termasuk memberikan subsidi memadai agar rakyat memperoleh kesempatan belajar. Tidak ada alasan bagi negara untuk tidak memperhatikan pendidikan bagi mereka yang kurang secara finansial. Menguatnya liberalisasi ekonomi dan krisis multidimensi memberikan legitimasi bagi pemerintah untuk melakukan privatisasi pendidikan. Penyelenggaraan pendidikan yang seharusnya menjadi tanggung jawab pemerintah kemudian diserahkan kepada pihak swasta. Akibatnya, pendidikan menjadi barang mewah dan sulit dijangkau oleh mereka yang berkantong tipis. Biaya pendidikan untuk masuk perguruan tinggi negeri (PTN) mulai dari Rp 45 juta hingga 1 miliar menjadi faktanya. Privatisasi pendidikan dapat dilihat dari seberapa besar anggaran pendidikan yang dialokasikan pemerintah. Bila dibandingkan dengan negara-negara Asia lainnya, tingkat privatisasi pendidikan di Indonesia merupakan yang tertinggi.
Ada beberapa alasan yang mendasari terjadinya privatisasi. Pertama, privatisasi didorong oleh motivasi untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Pemerintah sering dianggap kurang mampu mengelola pendidikan. Akibatnya, lembaga pendidikan menjadi tidak efisien, tidak kompetitif, dan tidak berkembang. Kedua, privatisasi pendidikan merupakan konsekuensi logis dari adanya prinsip teknologisasi, kuantifikasi, dan efisiensi dalam kehidupan manusia. Dalam hal ini, pendidikan dalam masyarakat sudah dipandang sebagai private goods, sehingga pemerintah tidak harus menyediakan pendidikan secara massal. Ketiga, pemerintah merasa tidak memiliki dana yang cukup untuk membiayai pendidikan. Dalam hal ini privatisasi dianggap dapat meringankan beban pemerintah dalam membiayai pendidikan, sehingga anggaran yang sebelumnya dialokasikan untuk pendidikan bisa dialihkan pada sektor lainnya yang dirasa lebih mendesak. Privatisasi pendidikan yang kemudian mengarah pada komersialisasi pendidikan kini seakan menjadi sesuatu yang sah-sah saja. Ketidaktegasan pemerintah dalam mengelola regulasi pendidikan menyebabkan PTN-PTN leluasa untuk mengeruk keuntungan dari mahasiswa baru. Imbasnya, rakyat miskin berada dalam posisi tawar yang lemah untuk mengenyam pendidikan.

Komersialisasi Pendidikan melalui UU BHP
Pendidikan merupakan salah satu cara dalam melakukan transformasi pemikiran sehingga bentuk dan proses pendidikan yang berlangsung dalam sebuah negara memberikan sumbangan besar bagi terwujudnya suatu pemikiran. Komersialisasi Pendidikan dengan BHMN dan BHP Dalam UU No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 53, lembaga pendidikan formal yang didirikan oleh pemerintah dan masyarakat harus berbentuk Badan Hukum Pendidikan (BHP). Dalam pasal 47 ayat 2 dinyatakan bahwa sumber pendanaan pendidikan adalah pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan masyarakat. Menurut pasal 49 ayat 3, pendanaan pendidikan pemerintah pusat dan pemerintah daerah kepada lembaga pendidikan diberikan dalam bentuk hibah. Bagaimana peran masyarakat dinyatakan oleh pasal 54 ayat 2, yakni masyarakat memiliki peran sebagai sumber, pelaksana, dan pengguna. Adapun yang dimaksud dengan masyarakat dijelaskan oleh pasal 54 ayat 1 yaitu individu, kelompok, keluarga, organisasi profesi, pengusaha, dan organisasi kemasyarakatan. Dalam RUU BHP pasal 22 ayat 2 disebutkan aset BHP dapat berasal dari modal penyelenggara, utang kepada pihak lain, sumbangan pihak lain, dan hasil usaha BHP. Menurut RUU BHP pasal 22 ayat 3, pemerintah dari sisi pendanaan memiliki fungsi sebagai pemberi hibah saja. Saat ini RUU BHP masih dalam pembahasan dan belum menjadi undang-undang sehingga pengubahan status lembaga pendidikan menjadi Badan Hukum Pendidikan belum dapat dilaksanakan. Meskipun demikian, sejak tahun 2000 pemerintah telah melaksanakan dan menyerahkan otonomi kampus kepada 4 Perguruan Tinggi Negeri terbesar yakni UI, IPB, ITB, dan UGM. Adanya otonomi kampus bagi ke-4 PTN tersebut disertai dengan perubahan bentuk kelembagaan menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Konsekwensinya, pengelolaan dan pendanaan kampus dilakukan sendiri oleh BHMN, sedangkan pemerintah tidak memikul tanggung jawab apapun kecuali memberikan hibah saja. Dengan format BHMN dan BHP, pemerintah secara sistematis berubaya menggeser peranan dan tanggung jawabnya dalam pendidikan kepada masyarakat. Akibatnya PTN yang menjadi BHMN harus mencari sendiri sumber pembiayaan pendidikan dengan cara menaikkan biaya pendidikan dan mengkomersilkan sarana-sarana pendidikan yang dimiliki oleh BHMN. Misalnya, pada tahun 2003 Institut Pertanian Bogor membutuhkan dana Rp 450 milyar. Untuk menutupi kebutuhan dana tersebut, IPB hanya dapat mengandalkan hibah pemerintah pusat sebesar Rp 64,35 milyar (14,3%), sementara kenaikkan biaya pendidikan yang dilakukan IPB hanya dapat menutupi 6,5% (Rp 29,25 milyar) kebutuhan anggaran. Untuk membiayai operasionalnya, IPB melakukan komersialisasi sarana-sarana pendidikannya seperti didirikannya Ekasari Plaza, Bogor Agribusiness Center, IPB International Convention Center, Kampus Gunung Gede dan Politeknik. Dari komersialisasi aset-aset IPB ini diperoleh pendapatan Rp 255,6 milyar (56,8%).

Dampak Komersialisasi Pendidikan
Komersialisasi pendidikan mengakibatkan sulitnya akses bagi masyarakat terhadap pendidikan dari tingkat dasar hingga ke perguruan tinggi karena syarat utama untuk memasuki lembaga pendidikan adalah kemampuan finansial masyarakat bukan kemampuan berpikir. Di dalam lembaga pendidikan, khususnya PTN yang telah menjadi BHMN terdapat kesenjangan lebar antara mahasiswa yang diserap murni dari kemampuan berpikir dengan mahasiswa yang diserap karena kemampuan finanasial. Kondisi ini tidak baik bagi perkembangan dunia akademik.
Perguruan Tinggi tidak lagi fokus mengurus dan melayani pendidikan bagi para mahasiswanya, perhatiannya terpecah kepada urusan-urusan yang bersifat profit dan bisnis sehingga ini akan sangat berpengaruh terhadap kualitas pendidikan di Indonesia. BHMN dan BHP diberikan peluang melakukan. Hal ini menjadi sarana bagi pihak asing (khususnya Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia, Amerika Serikat, Jepang, dan negara-negara maju lainnya) untuk melakukan intervensi pendidikan melalui senjata utang langsung ke lembaga-lembaga pendidikan di Indonesia. Peranan masyarakat Indonesia untuk pembiayaan pendidikan tidak dapat terlalu diharapkan terhadap dunia pendidikan Indonesia karena sebagian besar masyarakat Indonesia berasal dari kalangan menengah ke bawah. Akibatnya apa yang dimaksud UU Sisdiknas dan RUU BHP tentang kemandirian masyarakat adalah menyerahkan institusi pendidikan kepada para pemilik modal. Bagi lembaga-lembaga donor yang berbasis ideologis seperti The Asia Foundation dan Ford Foundation, hal ini melapangkan jalan bagi mereka guna mendorong perguruan tinggi melakukan riset yang berbasis kepentingan ideologi Kapitalis-Sekuler. Implimentasi Konsensus WashingtonPada tahun 1980 di Washington DC, Amerika Serikat dan Negara-negara maju, IMF dan Bank Dunia, serta MNC, melakukan pertemuan yang menghasilkan Konsensus Washington (KW). KW pada intinya merupakan program penyesuaian struktural yang hendak diterapkan oleh negara-negara maju terhadap negara-negara berkembang dalam khususnya dalam bentuk pencabutan subsidi, menaikkan harga-harga barang publik, privatisasi aset strategis dan sumber daya alam.
Adanya komersialisasi pendidikan merupakan bagian dari program pengurangan dan penghapusan subsidi pemerintah terhadap pelayanan publik di sektor pendidikan dan melepaskan harga dan biayanya kepada mekanisme pasar. Komersialisasi pendidikan juga merupakan salah satu bentuk program privatisasi aset-aset negara.

Kontroversi UU BHP: Otonomi atau Liberalisasi?
Sejak awal disiapkan, RUU BHP ”yang merupakan amanat UU No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional” memang menuai berbagai persoalan. Dominasi isu yang muncul adalah apakah negara bermaksud melepaskan tanggung jawab konstitusional untuk mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Isu ini semakin kuat jika dikaitkan dengan gejala liberalisasi (neoliberalisme) ”atas nama profesionalisme dan korporasi” yang sudah terjadi pada sektor-sektor yang lain melalui privatisasi. Apalagi di dalam draf-draf awal RUU BHP tersebut dimungkinkan dan dimudahkannya lembaga pendidikan tinggi asing mendirikan BHP di Indonesia melalui kerja sama dengan BHP Indonesia yang telah ada.
Pasal ini memiliki sisi positif untuk meningkatkan daya saing pendidikan tinggi untuk menyerap pengetahuan pendidikan tinggi asing, tetapi juga dapat memiliki dampak negatif berupa liberalisasi pendidikan tinggi yang dapat menyebabkan intervensi dan penguasaan pendidikan oleh lembaga pendidikan tinggi asing. Pasal ini telah dihapus dalam UU BHP yang ditetapkan oleh DPR. Kontroversi lainnya adalah seputar biaya pendidikan yang dikhawatirkan akan semakin mahal dengan terbentuknya BHP. Kekhawatiran ini berasal dari praktik perguruan tinggi badan hukum milik negara (PT BHMN) sebagai species BHP yang selama ini terjadi dan bertendensi memarginalisasi anak-anak tidak mampu untuk mengenyam pendidikan. Perjalanan dan perenungan penulis terhadap praktik PT BHMN selama ini menyimpulkan bahwa pembiayaannya masih berpijak pada biaya operasional pendidikan (BOP) yang dipungut dari peserta didik. Hal ini terjadi karena berbagai persoalan, seperti aset PT BHMN yang masih dimiliki oleh negara menyebabkan kesulitan mengembangan sumber penerimaan lain dari ventura bisnis.
Di sisi lain, betapa sulitnya melakukan perubahan budaya penyelenggara (baik pengelola, dosen dan tenaga kependidikan) dari budaya birokrasi ke budaya korporasi. Jalan mudah yang selama ini ditempuh adalah membebankan pembiayaan operasional kepada peserta didik. Kekhawatiran ini cukup beralasan, meski selama ini PTBHMN secara terbatas juga memberikan fasilitas bantuan pendidikan dan beasiswa kepada peserta didik. Demikian besarnya kekhawatiran masyarakat terhadap mahalnya biaya pendidikan tersebut, para wakil rakyat di DPR merasa perlu untuk mencantumkan kewajiban pemerintah dalam pembiayaan pendidikan oleh BHP.
Dalam draf terakhir yang disahkan pada 17 Desember 2008 lalu, pasal-pasal tentang kekayaan dan pendanaan pendidikan oleh BHP diarahkan untuk memperkuat peran negara dalam pembiayaan pendidikan. Misalnya saja kekayaan BHP pemerintah/pemerintah daerah (BHPP dan BHPPD) merupakan kekayaan pendiri (negara/pemerintah daerah) yang dipisahkan (Pasal 37).Sedangkan semua bentuk pendapatan dan sisa hasil usaha kegiatan maupun penggunaan tanah negara tidak termasuk pendapatan negara bukan pajak (Pasal 38) dan harus ditanamkan kembali ke dalam BHP untuk tujuan peningkatan kualitas pendidikan.Khusus untuk pendanaan pendidikan bagi BHPP dan BHPPD, pemerintah dan pemerintah daerah menanggung paling sedikit 1/3 biaya operasional untuk pendidikan menengah dan paling sedikit 1/2 biaya operasional untuk pendidikan tinggi (Pasal 41 ayat 4 dan 6). Biaya penyelenggaraan pendidikan yang ditanggung oleh peserta didik dalam BHPP dan BHPPD paling banyak 1/3 dari biaya operasional. Dalam pasal lain UU BHP juga mewajibkan penyelenggara pendidikan untuk memberikan beasiswa, bantuan pendidikan, kredit mahasiswa dan pemberian pekerjaan kepada peserta didik (Pasal 40), dan wajib menjaring dan menerima warga negara Indonesia yang memiliki potensi akademik tinggi dan kurang mampu paling sedikit 20% dan jumlah keseluruhan peserta didik.
Hal menonjol dan sampai saat ini tetap menjadi ganjalan dalam UU BHP adalah berlakunya ketentuan BHP bagi penyelenggara pendidikan swasta oleh masyarakat. Seluruh ketentuan BHP berlaku bagi BHP masyarakat (BHPM), kecuali mengenai ketegasan bantuan pemerintah untuk biaya investasi, beasiswa dan biaya operasional pendidikan sebagaimana berlaku bagi BHPP dan BHPD. Pemerintah pusat dan pemerintah daerah memang ikut menanggung dana pendidikan untuk BHPM dan BHP penyelenggaraan (yayasan dan perkumpulan) dalam bentuk bantuan pendidikan, tetapi hal ini hanya berlaku bagi pendidikan dasar dan tidak ditentukan besaran minimal bantuan tersebut. Dapat dikatakan bahwa proporsi pengaturan pasal-pasal dalam UU BHP lebih condong dan lebih cocok untuk lembaga pendidikan pemerintah ketimbang lembaga pendidikan swasta.

Menuju Implementasi UU BHP
Berbagai kontroversi di atas seharusnya bermuara pada satu pertanyaan, dapatkah UU BHP ini diimplementasikan untuk menjamin kualitas pendidikan kita yang semakin baik? Penulis sendiri berposisi mendukung penguatan profesionalisme otonomi penyelenggaraan pendidikan, tanpa harus melepaskan tanggung jawab negara terhadap pendanaan pendidikan. Tentu saja dengan berbagai catatan, bahwa implementasi UU BHP tidak boleh menyebabkan komersialisasi pendidikan yang dapat membatasi hak-hak masyarakat “termasuk golongan tidak mampu” untuk menikmati pendidikan.
Pun bantuan dan subsidi yang diberikan oleh negara terhadap pendidikan tidak boleh menyebabkan hilangnya kreativitas dan inovasi lembaga pendidikan untuk melakukan knowledge sharing dan knowledge creation. Jika dilihat dari pasal-pasal dalam UU BHP, sejatinya cukup melegakan bahwa tanggung jawab negara dalam pendidikan tidak hilang dan dihilangkan. Demikian pula tuntutan UU BHP untuk akuntabilitas, keterbukaan, partisipasi dan transparansi dalam penyelenggaraan pendidikan. Yang justru dikhawatirkan adalah kemampuan negara untuk membiayai 1/3 biaya operasional (pendidikan menengah) dan 1/2 biaya operasional (pendidikan tinggi) bagi seluruh BHPP dan BHPPD. Nilai itu belum termasuk biaya investasi, beasiswa, dan subsidi lain. Dana ini juga belum termasuk bantuan pemerintah dan pemerintah daerah kepada BHPM. Jika pemerintah tak memiliki dana cukup untuk membiayai itu semua, maka kekhawatiran sejumlah mahasiswa dalam praktik PT BHMN selama ini akan terjadi. Hal lain yang cukup mengganggu, sering kali implementasi UU terhambat oleh buruknya kapasitas sistem birokrasi negara. Jika bantuan dana tersebut dilakukan melalui birokrasi negara, bukan tidak mungkin proses pendidikan secara keseluruhan juga akan terwarnai oleh buruknya kompetensi dan rusaknya moralitas birokrasi. Kepada seluruh pemangku kepentingan penulis menghimbau, mari kita diskusikan polemik BHP ini dengan kerangka dan tujuan yang sama: untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.

Neoliberalisme dalam RUU BHP dan Krisis Identitas
Mengapa semangat neoliberalisme mampu menghilangkan jati diri anak bangsa di tengah–tengah seruan ideology Pancasila? Bukankah semangat ideology Pancasila selalu ditanamkan dalam semua aspek kehidupan berbangsa? Bahkan dalam semua produk UU di Negara ini Pancasila tidak boleh lupa dicantumkan. Ironisnya, pencantuman itu hanya kebohongan belaka tanpa ada komitmen kolektif melaksanakannya. Tatkala kita dihadapkan pada RUU badan hukum pendidikan, mengapa selalu saja datang semangat neoliberalisme yang diboncengi oleh kompredor yang bisa mempengaruhi kebijakan? Sekedar mengingatkan pikiran kita, baru-baru ini ribuan guru berdemo menuntut dipenuhinya anggaran pendidikan 20 persen dalam APBN, perbaikan tunjangan guru, dan pembatalan ujian nasional (UN). Problem dalam dunia pendidikan tidak akan berhenti sampai di situ. Masalah lain pun siap menghadang pendidikan kita ke depan. Salah satunya hadirnya Rancangan Undang-undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP) yang memiliki semangat ke arah neoliberalisme.
Arus globalisasi kian deras melanda seluruh dunia, tidak ketinggalan di Indonesia. Globalisasi itu mengangkut paham neoliberal. Kondisi seperti itu membuat orang mulai menghayati pentingnya persoalan waktu dan ruang, yang dikenal sebagai, meminjam istilah geografer David Harvey, time space compression. Konsep tersebut merupakan sebuah perspektif tertentu manusia masa kini terkait kemajuan material yang menjamah hampir segala segi kehidupan. Semakin orang menguasai waktu dan ruang, orang kian menunjukkan kekuatannya. Kenyataan itu kian diperkuat dengan cepat dan suburnya internasionalisasi perdagangan, sumber-sumber keuangan, multinational corporation (MNC). Pendek kata, time space compression telah mengomersialisasikan kehidupan manusia, tak terkecuali dalam dunia pendidikan. Bila mengikuti alur pemikiran sosiolog Prancis, Pierre Bourdieu tentang neoliberalisme, bisa membuat kita sedih. Baginya, neoliberalisme tidak jauh berbeda dengan Marxisme pada masa lampau. Terutama, dalam hal membangkitkan kepercayaan yang luar biasa, utopia keyakinan perdagangan bebas (free trade faith).
Tidak hanya pada mereka yang diuntungkan secara materi, seperti bankir, pemilik modal, bos perusahaan besar. Namun, mereka juga memperoleh pembenaran atas keberadaan paham itu, misalnya, para pejabat tinggi dan politikus yang memberhalakan kekuasaan pasar hanya demi alasan keefektifan ekonomi. Dalam pandangan Bourdieu, mereka yang disebut terakhir itu cenderung akan menuntut dihapuskannya hambatan-hambatan administrasi atau politik yang dapat mengganggu kelancaran para pemilik modal dalam usaha mencari keuntungan individual yang sebesar-besarnya. Bahkan, mereka setuju dengan gagasan subordinasi negara bangsa (nation state) terhadap tuntutan-tuntutan kebebasan ekonomi bagi para pengendali pasar. Terutama penghapusan semua peraturan yang menghambat pasar. Mulai dari pasar kerja, pencegahan defisit dan inflasi, swastanisasi semua bentuk pelayanan publik, hingga pengurangan belanja umum dan sosial. Pandangan itu semakin diperkuat dengan pernyataan pakar pendidikan Henry A Giroux. Menurutnya, neoliberalisme telah merasuk dalam proses pendidikan prasekolah sampai perguruan tinggi (PT). Giroux melihat neoliberalisme sebagai ideologi yang sangat berbahaya dalam kehidupan masyarakat demokrasi. Neoliberalisme memberikan peranan yang sangat besar kepada fundamentalisme pasar. Artinya, segala sesuatu diserahkan kepada kemauan dan kekuatan pasar (Tilaar, 2005). Dalam neoliberalisme, kebebasan merupakan kebebasan dalam berbisnis.

Pendidikan Kita Berwajah Neoliberalisme
Kekhawatiran pendidikan kita berwajah neoliberalisme memang beralasan, terutama dengan kehadiran RUU BHP karena mengarah pada privatisasi atau swastanisasi. Di mana pelayanan publik sudah memasang target segmen khusus kepada masyarakat. Tujuannya, tidak lain demi mencari keuntungan. Kekhawatiran itulah yang membuat kehadiran RUU BHP yang tengah digodok di parlemen menuai kontroversi. RUU BHP lahir dari implementasi Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No 20/2003. Berdasarkan bunyi salah satu pasalnya, Pasal 53 ayat 1, yaitu penyelenggaraan dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan. RUU BHP berisi antara lain, melepaskan perguruan tinggi dari intervensi pemerintah. Kelak, tidak ada lagi perbedaan antara perguruan tinggi negeri  (PTN) dengan perguruan tinggi swasta (PTS).
Dalam era BHP itu lebih mengedepankan kemandirian perguruan tinggi dalam aspek manajemen administrasi keuangan, sumber daya manusia, dan akademik. Bahkan, perguruan tinggi juga bebas untuk bekerja sama dengan institusi asing. Dalam neoliberalisme pendidikan peran negara dalam urusan pembiayaan pendidikan menjadi terlepas. Tentu saja, kita akan menolak bila pemerintah melepaskan tanggung jawabnya atas pembiayaan pendidikan. Ada beberapa tawaran terhadap kehadiran RUU BHP itu, terutama untuk menghentikan kekhawatiran terhadap munculnya semangat neoliberalisme pendidikan.
Pertama, selayaknya model pelayanan publik untuk hak-hak dasar warga negara lebih pantas dibenahi dengan modernisasi ketimbang privatisasi. Pasalnya, hak atas pendidikan merupakan hak pribadi yang berakar dalam kebutuhan pokok manusia. Manusia tidak bisa mempertahankan hidupnya tanpa suatu pendidikan. Kebutuhan akan pendidikan itu termasuk kebutuhan pokok yang tidak perlu direduksi dengan kebutuhan lain. Oleh karena itu, manusia mempunyai hak dan kewajiban sekaligus dalam pendidikan.
Kedua, untuk menumbuhkan partisipasi masyarakat yang transparan dan akuntabel, diperlukan BHP yang berpola kemitraan antara pemerintah dan masyarakat (public private partnership). Bukan privatisasi ataupun swastanisasi. Tampaknya, pola ini lebih sesuai dengan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas). Artinya, pemerintah dituntut untuk menguraikan dan menuangkan apa yang telah diamanatkan pasal-pasal tersebut dalam RUU BHP. Usaha itu perlu dilakukan untuk menghindari pengelolaan pendidikan terperosok dalam jurang free fight liberalism. Dalam konteks itu, pemerintah harus membangun sistem pembiayaan pendidikan yang berkeadilan sosial. Artinya, pemerintah wajib memberikan beasiswa kepada mereka yang status ekonominya tidak mampu. Bukankah tugas negara itu untuk mencerdaskan kehidupan bangsa? Hal itu untuk menghindari hanya anak-anak dari kalangan keluarga kaya yang bisa menikmati pendidikan di perguruan tinggi, sedangkan masyarakat miskin hanya gigit jari dengan memperoleh pendidikan ala kadarnya.
Ketiga, hal lain yang juga perlu menjadi bahan pertimbangan adalah merangsek masuknya subsidi silang dalam Undang-Undang BHP. Itu merupakan bagian dari tanggung jawab sosial perguruan tinggi. Jadi, tidak hanya perusahaan atau lembaga ekonomi profit yang memikirkan dan menjalankan program sosial lewat corporate social responsibility (CSR). Lembaga pendidikan tinggi pun sudah seharusnya melakukan tanggung jawab sosial terhadap masyarakat. Bila subsidi silang masuk dalam salah satu pasal UU BHP kelak, berarti akan mewajibkan seluruh perguruan tinggi di Tanah Air untuk melaksanakannya karena telah menjadi sebuah kebijakan nasional. Paling tidak, hal tersebut akan berimbas makin banyak warga negara yang mengenyam pendidikan tinggi dan semakin banyak pula potensi dari suatu bangsa untuk mencurahkan kemampuannya dalam peningkatan kualitas kehidupan bangsa.
Keempat, menolak kehadiran BHP, karena hanya akan menyengsarakan masyarakat kecil untuk memperoleh pendidikan yang layak. Benarlah apa yang diungkapkan Bourdieu bahwa pendidikan hanya mereproduksi perbedaan dalam masyarakat. Alangkah mengenaskannya kondisi pendidikan kita ke depan. Oleh karena itu, perdebatan panjang masih perlu diupayakan untuk mencari solusi terbaik.

Pasca Pembatalan UU BHP
Pada tgl 31 maret 2010 Mahkamah Konstitusi (MK) telah membatalkan semua pasal dalam UU Badan Hukum Pendidkan (UU BHP). MK juga membatalkan beberapa isi UU Sisdiknas. Pertimbangan MK membatalkan UU BHP salah satunya UU itu ingin menyeragamkan penyelenggara pendidikan dalam bentuk BHP. MK menilai ide penyeragaman melalui UU BHP tidak menemukan alasan yang mendasar. Alasan lain adalah UU itu mewajibkan BHP dikelola dengan dana mandiri dan prinsip nirlaba. Permasalahan akan muncul di daerah di mana akan sangat kesulitan sekolah dalam bentuk BHP mendapatkan sumber dana untuk mandiri. Menurut MK, jika keadaan tidak ada kepastian sumber dana yang dapat didapat oleh sebuah BHP, sasaran paling rentan adalah peserta didik melalui pungutan.
Menurut Prof. Dr. Bambang Sudibyo Mendiknas 2004-2009 menanggapi pembatalan UU BHP oleh MK mengatakan bahwa pembatalan UU Badan Hukum Pendidkan (UU BHP) tidak berpengaruh pada Badan Hukum Milik Negara (BHMN). BHMN terdiri tujuh Perguruan Tinggi adalah Universitas Indonesia, Institut Teknologi Bandung, Institut Pertanian Bogor, Universitas Gadjah Mada, Universitas Pendidikan Indonesia, Universitas Airlangga, Universitas Sumatra Utara tetap eksis karena yang tidak diperbolehkan Mahkmah Konstitusi adalah menyeragamkan pendidikan melalui BHP karena melanggar UU. Dia mengungkapkan, DPR dan pemerintah dapat menindaklanjuti dengan membuat UU yang sesuai putusan MK.Tetapi berbeda penryataan, Akil Mochtar hakim konstitusi menegaskan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap UU No 20/2003 tentang Sisdiknas dan UU No 9/2009 tentang BHP telah jelas membatalkan penerapan BHMN di tujuh perguruan tinggi. Bila BHMN tetap eksis karena yang menjadi dasar untuk tetap adanya BHMN adalah penjelasan Pasal 53 ayat 1 UU Sistem pendidikan Nasional (UU Sisdiknas).
Pasal 53 ayat 1 tersebut telah dibatalkan oleh MK lalu dasar pelaksanaan BHMN di mana? Menurut dia, dengan tidak ada lagi dasar pelaksanaannya, BHMN harus dibatalkan.Karena itu, solusinya adalah harus ada UU baru. Akil mengungkapkan, putusan tentang UU BHP menegaskan bahwa UU itu telah meminggirkan peran lembaga pendidikan yang telah ada sebelum Indonesia merdeka, yaitu yayasan. Dengan UU BHP lembaga seperti yayasan tidak diakui karena itu dibatalkan. UU BHP telah menyeragamkan lembaga pendidikan. Imbasnya,satu lembaga pendidikan dapat tersisih oleh lembaga pendidikan lainnya. Akil mencontohkan, ketika biaya antara satu universitas dan lainnya disamakan, yang dinilai bagus akan dipilih. Imbasnya,universitas yang dinilai tidak bagus akan kekurangan peminat. Selain itu, Akil mengatakan, meski MK membatalkan UU BHP dan BHMN tidak ada, universitas negeri juga tidak dilarang untuk mencari dana pembangunan internal kampusnya. Asal dananya yang didapatkan dapat dipertanggung jawabkan.
Menurut Prof. Fasli Jalal Wakil Menteri Pendidikan Nasional, mengatakan Perguruan Tinggi Negeri (PTN) yang memiliki badan hukum, tetap masih mendapatkan ruang untuk mengelola sumberdayanya. Sangat mungkin PTN nanti melaksanakan sistem Badan Hukum Milik Negara (BHMN), namun harus ramah kepada masyarakat, serta ada kontrol dari pemerintah terkait pungutan terhadap mahasiswa.Jadi hak sepenuhnya ada di PTN masing-masing, karena pengelolaan perguruan tinggi negeri (PTN) tetap harus memiliki otonomi untuk berkembang tanpa melanggar ketentuan hukum setelah dibatalkannya UU BHP. Pemerintah hingga kini masih belum memutuskan bentuk dari payung hukum yang akan dipilih guna mengisi aturan yang kosong pasca pembatalan undang-undang (UU) Badan Hukum Pendidikan (BHP) oleh Makamah Konstitusi (MK). Presiden Dr. Susilo Bambang Yudhoyono meminta kepada Mendiknas Prof. Dr. Muh. Nuh untuk melakukan pengkajian lagi apakah persoalan-persoalan yang sekarang sebagai implikasi dari dibatalkannya UU BHP sudah semuanya bisa ditampung dalam PP yang baru atau PP No 17 tahun 2010.

Pembatalan UU BHP
Prof. Dr. Mohammad Nuh Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) merancang Peraturan Pemerintah (RPP) yang baru pasca-pembatalan UU BHP. UU Sisdiknas Tahun 1998 telah melahirkan PP 60/1999 dan PP 61/1999. PP 60/1999 itulah yang menjadi “cantolan” (sumber hukum) PTN dalam mengatur dirinya, sedangkan PP 61/1999 yang melahirkan PT BHMN.
UU Sisdiknas akhirnya diubah menjadi UU 20/2003, kemudian UU Sisdiknas 20/2003 itu melahirkan PP 17/2010 tentang pengelolaan penyelenggaraan pendidikan. PP 17/2010 itu sendiri menganulir PP 60/1999 dan PP 61/1999, tapi PP 17/2010 tidak menjadi `cantolan` (sumber hukum) dari UU BHP, sehingga PP 17/2010 adalah PP terkait UU BHP yang hidup Kemendiknas tidak akan menggunakan PP 17/2010 sebagai `cantolan` yang masih hidup, melainkan pihaknya akan menempuh langkah yang paling aman dengan merancang PP baru yang tetap mengarah kepada komitmen kepada kualitas pendidikan. Bahkan, kami akan mengambil hikmah dari pembatalan MK itu dengan melakukan penataan ulang untuk sistem pendidikan nasional. Kalau selama ini sistem yang ada lebih menonjol pada otonomi, maka PP yang baru akan melengkapi dengan pilar lain. PP yang baru nantinya memiliki empat pilar yakni otonomi, akuntabilitas, transparansi, dan efisiensi. misalnya, aturan tentang kursi di sebuah perguruan tinggi untuk calon mahasiswa yang miskin sebanyak minimal 20 persen sebagaimana diatur dalam UU BHP akan tetap dipertahankan dalam PP yang baru.Tapi, persyaratan minimal 20 persen itu akan dilengkapi dengan sistem pelaporan secara online yang akuntabel, sehingga persyaratan 20 persen itu akan memiliki jaminan dalam pelaksanaannya. Pendidikan tinggi saat ini terjadi missing link menjadi mahal dan sulit terjangkau masyarakat, apakah faktor efisiensi, mis-manajemen, akuntabilitas, atau apa penyebabnya. Kami akan merumuskan komponen biaya pendidikan tinggi, apakah yang menjadi komponen pemerintah dan apa yang menjadi komponen masyarakat, sehingga akan diketahui rumusan yang membuat pendidikan tinggi menjadi terjangkau, sebab calon mahasiswa masyarakat berkemampuan sedang relatif banyak. Ditanya tentang tujuh perguruan tinggi yang sudah menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN), ia mengatakan PT BHMN tetap harus mengacu pada PP yang baru, namun hal itu tidak akan dipaksakan. PT BHMN akan tetap berjalan, tapi ada masa transisi untuk memenuhi PP yang baru. Misalnya, UI sekarang `kan memiliki karyawan yang PNS dan karyawan yang merupakan pegawai BHMN, tentu perlu waktu untuk berubah ke arah PP yang baru.
Menurut Prof. Dr. Mansyur Ramli Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kemendiknas menjelaskan, dua alternatif payung hukum tersebut yakni peraturan pengganti undang-undang (perppu) dan revisi PP 17/2010 tentang penyelenggaraan pendidikan. “Naskah perpu sudah siap dan begitu pula revisi PP. Pada rapat kerja dengan Komisi X DPR, Prof Dr Mansyur menjelaskan, yang akan diatur dalam perpu adalah landasan hukum bagi ketujuh perguruan tinggi negeri berstatus Badan Hukum Milik Negara (BHMN) yakni UI, ITB, IPB, Unair, UGM, UPI, dan USU. Perppu tersebut nantinya juga akan mengatur pengelolaan keuangan dan otonomi perguruan tinggi. Akan tetapi masalah yayasan masih belum masuk di peraturan pengganti ini. Sementara Johannes Gunawan Konsultan UU BHP Kemendiknas saat raker menjelaskan, dua alternatif itu diajukan untuk mengantisipasi beberapa jenjang pendidikan yang selama ini mengacu pada UU BHP. Diantaranya jenjang pendidikan menengah atau madrasah yang berbentuk atau diselenggarakan yayasan dan pendidikan tinggi berbadan hukum milik negara (BHMN).Selain itu, ada pendidikan tinggi yang berbentuk yayasan dan pendidikan tinggi yang berbentuk badan hukum pendidikan (BHP) seperti universitas pertahanan. Lebih jauh dia menambahkan, ketidakjelasan bentuk badan hukum bagi yayasan disebabkan yayasan tidak boleh secara langsung menyelenggarakan pendidikan, melainkan dilakukan dengan membentuk badan usaha. Berdasar pasal 7 ayat (1) UU No 16 Tahun 2001,yayasan dapat mendirikan badan usaha yang kegiatannya sesuai dengan maksud yayasan. ”Hal tersebut bertentangan dengan prinsip nirlaba bagi badan hukum penyelenggara pendidikan Pasal 53 ayat (3) UU Sisdiknas,” terangnya. Selain itu,menurut Pasal 39 PP No 63 Tahun 2008 tentang Yayasan, yayasan yang sampai tanggal 6 Oktober 2008 belum menyesuaikan dengan UU, tidak diperbolehkan lagi menggunakan kata yayasan serta harus bubar dan melikuidasi kekayaannya. Hingga saat ini masih terdapat ribuan yayasan yang belum sesuai dengan UU tersebut sehingga nasib siswa dan mahasiswa pun tidak jelas. Begitu pula ijazah yang diterbitkan sekolah atau perguruan tinggi yang tidak berbadan hukum menjadi ilegal. Menurut Ferdiansyah Anggota Komisi X DPR menyetujui alternatif perpu dapat mengatur tentang tata kelola dan status badan hukum. Karena itu, pihaknya menunggu pengajuan dari Kemendiknas terkait alternatif tersebut. Sementara Abdul Wahid Hamid anggota Komisi X DPR menjelaskan, perppu memang lebih baik karena kondisi darurat yang dialami pengelola pendidikan usai UU BHP ditolak MK. Kemendiknas mesti mempersiapkan PP sebagai substansi di bawah perppu. Sedangkan Dedi Suwandi Gumelar anggota Komisi X DPR lebih memilih revisi PP 17 sebagai peraturan baru. Pasalnya, pasal-pasal dalam PP tersebut sudah mengadopsi elemen-elemen, baik dalam UU BHP dan sudah merujuk ke konstitusi yang telah ada. Yang paling cepat diimplementasikan adalah PP 17. Kalau ajukan UU, butuh waktu yang sangat lama. Sebelumnya kalangan rektor juga masih berbeda pendapat terkait payung hukum pengganti UU BHP. Prof. Dr.Akhmaloka Rektor ITB berharap kalangan perguruan tinggi tetap diberikan otonomi untuk mengelola kampus. Karena itu, apapun payung hukumnya harus bisa menjembatani aspirasi masyarakat kampus. Mendiknas telah meminta kalangan kampus untuk tetap menjalankan aktivitas pendidikan. Meski landasan hukum keberadaan PTN BHMN telah ditolak, status tersebut masih tetap berlaku. Sebab, keberadaannya mengacu pada UU Sisdiknas.

Akibat UU BHP diberlakukan di Indonesia
(1)  Kampus yang Komersil Tidak Dapat Dihindari.
Banyak kalangan yang mengatakan bahwa BHMN bukanlah komersialisasi apalagi privatisasi kampus. Mereka salah besar, pada kenyataannya justru komersialisasi ini tidak dapat dihindari. Kemudian, karena pencarian dan pengelolaan keuangan institusi pendidikan dilakukan secara otonomi, di mana pemerintah tidak campur tangan lagi, privatisasi kampus malah semakin jelas. Aset-aset perguruan tinggi dijadikan bisnis untuk mencari uang. Misalnya saja IPB mendirikan Bogor Botany Square, Ekalokasari Plaza, dan pom bensin di wilayah kampusnya. Sebenarnya ini sudah melanggar Tri Dharma Perguruan Tinggi karena menjadikan bagian kampus sebagai pusat bisnis. Untuk memenuhi kebutuhan pendanaan perguruan tinggi konversi aset tersebut dikatakan boleh-boleh saja. Permasalahannya jika institusi pendidikan tidak mempunyai aset, atau sedang buntu tidak memiliki cara lain untuk memperoleh dana. Alhasil biaya pendidikanlah yang naik.
Peningkatan biaya pendidikan dijumpai pada semua perguruan tinggi yang telah menjadi BHMN ini. Sebagai contoh seperti yang terjadi di UI, pada tahun 1999, Dana Peningkatan Kualitas Pendidikan (DPKP) sebesar 1.5 juta rupiah, meningkat tiga kali lipat dari biaya sebelumnya yang limaratus ribu rupiah. Lalu, tahun 2003, Program Prestasi Minat Mandiri (PPMM), mengharuskan mahasiswa membayar uang masuk sebesar 50-60 bahkan 100 juta rupiah, belum uang pangkalnya (admission fee) yang kisarannya 5-25 juta rupiah. Ini pada perguruan tinggi yang BHMN. Kenyataannya akan berbeda jika semua institusi pendidikan (UU-BHP juga mencakup pendidikan dasar dan menengah) telah berubah menjadi BHP.
(2)  Timbul Kesenjangan dalam Bidang Pendidikan
Tidak dapat dipungkiri bahwa banyak rakyat Indonesia yang ingin mengenyam pendidikan tinggi (bahkan pendidikan dasar), namun dibatasi oleh kemampuan finansialnya. Jika pada institusi pendidikan, komersialisasi tidak dapat dihindari, apa yang terjadi pada mereka? Apakah hak mereka untuk mendapat pendidikan terabaikan?.
Yang terjadi adalah pengkotak-kotakan mahasiswa. Mahasiswa yang berduit mendapat kesempatan yang lebih. Bisa dipastikan akan timbul kesenjangan baru. Suatu fenomena pada kampus-kampus PT BHMN, tempat parkir dipenuhi oleh mobil-mobil para mahasiswa. Memang bukan indikasi utama, tetapi cukup menunjukkan kecenderungan yang terus meningkat bahwa yang kuliah hanyalah yang kaya alias mampu saja. Sampai timbul sinisme, orang miskin dilarang kuliah. Pada PTBHMN memang masih terdapat subsidi atau beasiswa bagi yang kurang mampu, tapi akankah seterusnya terjamin jika keuangan institusi pendidikan tersebut sedang mengalami krisis? Atau dengan menaikkan biaya pendidikan lagi?
(3)  Pendidikan Tinggi Indonesia Tidak Lagi Independen
Seperti sudah menjadi kebiasaan, jika pemerintah punya proyek baru dananya pasti dari berutang. Akibatnya isi proyeknya tergantung kompromi kedua belah pihak dan tentu saja harus menyenangkan pemberi utang. Proyek IMHERE dan program-program sebelumnya, dananya berasal dari pinjaman (utang) dari pihak asing (World Bank, Asian Development Bank, dan sebagainya). Mereka begitu baik bersedia memberikan ”bantuan” untuk kemajuan pendidikan Indonesia. Apakah pemerintah pernah berpikir, apa maksud mereka dibalik bantuan itu?. Yang perlu dicermati adalah pertama, kebijakan pendidikan Indonesia menjadi tidak independen. Kedua, adanya bunga menambah beban pembayaran semakin tinggi. Bukankah Indonesia masih memiliki utang?. Pada akhirnya ketergantungan tersebut mengakibatkan pemerintah tidak dapat melepaskan diri dari intervensi asing.
(4)  Pemerintah Melepaskan Diri dari Tanggung Jawabnya
UU-BHP menegaskan pergeseran peran pemerintah dalam bidang pendidikan dari penanggungjawab menjadi pemrasaran (hanya memberi kesempatan dan fasilitas). Seperti yang diatur dalam RUU-BHP swasta (atau disebut masyarakat) diberi kesempatan seluas-luasnya untuk berperan menyelenggarakan pendidikan. Bukankah ini sama dengan yang terjadi di negara-negara liberalis di mana pendidikan bukan tanggung jawab sepenuhnya pemerintah. Itu jelas sekali, bahkan dalam penerapan PTBHMN sudah tampak. Sektor pendidikan saat ini mendapatkan anggaran kurang dari 20 % dari APBN, lebih diutamakan untuk pendidikan dasar dan menengah. Dikatakan bahwa PTBHMN hanya dipayungi PP sehingga Departemen Keuangan tidak mengakuinya sebagai salah satu pos anggaran negara. Dapat dibayangkan, bagaimana nasib pendidikan tinggi Indonesia jika pemerintah berlepas tangan semacam ini.

(5)  Pasar Bebas Pendidikan
Ciri khas pasar bebas adalah adanya persaingan di mana yang berkemampuan (modal) lebih akan menang. Yang tidak berkemampuan akan kalah bahkan tersingkir.
Kenyataan demikian sudah tampak seperti yang telah dijelaskan pada poin ketiga, bahwa mahasiswa berduit menyingkirkan kesempatan mahasiswa yang tidak berduit.
UU-BHP dalam pendidikan menjadi sebuah komoditas. Standar suatu mata kuliah akan diajarkan atau tidak kepada peserta didiknya, berdasarkan relevansi dan tingkat permintaan atau keinginan pasar (para kapitalis—red). Tidak heran jika nantinya akan terjadi buka-tutup pada mata kuliah atau bahkan fakultas. Dan dapat dipastikan bahwa yang akan mengarahkan sistem pendidikan di Indonesia pun adalah pasar. Bila pasar di Indonsia saat ini dikuasai oleh asing, maka pendidikan Indonesia akan dikuasai oleh asing. Jadi pemerintah janganlah berharap banyak dari lulusan perguruan tinggi di negerinya mampu menyelesaikan persoalan bangsanya, karena mereka diarahkan untuk menyelesaikan persoalan bangsa lain (penjajah—red).
Pada UU-BHP pasal 6 tertulis, lembaga pendidikan asing yang terakreditasi atau yang diakui di negaranya dapat mendirikan BHP baru di Indonesia, dan bekerjasama dengan BHP yang keseluruhan anggota MWAnya berwarganegara Indonesia. Pasal ini mengindikasikan akan terjadi persaingan institusi-institusi pendidikan Indonesia dengan intitusi-institusi asing. Sangat jelas bahwa Indonesia akan kalah, dikarenakan secara finansial kemampuan Indonesia masih di bawah asing.


(6)  Tri Dharma Perguruan Tinggi Terlupakan
Pada institusi pendidikan yang sudah berorientasi sebagai bisnis, jalannya pendidikan tidak menjadi prioritas utama. Ini merupakan pelanggaran Tri Dharma Perguruan Tinggi yang pertama, yaitu pendidikan. Pengelolaan institusi yang tidak independen, tergantung pada pihak-pihak yang berkepentingan menyebabkan pengembangan perguruan tinggi sebagai salah satu pusat riset dan penelitian juga bergantung pada keinginan pihak-pihak berkepentingan tersebut. Di sisi lain, pendidikan tinggi hanya untuk menghasilkan lulusan yang diserap oleh perusahaan-perusahaan asing, atau menyelesaikan permasalahan-permasalahan asing, bukan permasalahan rakyat Indonesia. Lulusan pendidikan tinggi setiap tahunnya bertambah, akan tetapi permaslahan rakyat pun bertambah juga, artinya Institusi Pendidikan belumlah berfungsi sesuai dengan Tri Dharma Perguruan Tinggi, yaitu pengabdian kepada masyarakat.
Inti dampak negatif yang ditimbulkan oleh kebijakan pendidikan tinggi yang diterapkan pemerintah saat ini tidak jauh-jauh dari sumber daya manusia yang dihasilkan.
Inginnya mendapatkan sumber daya manusia yang berkualitas. Kenyataannya malah semakin terpuruk. Manusia-manusia yang terbentuk adalah manusia yang kapitalis dan pragmatis. Kapitalis karena merasa bahwa segala sesuatu bisa dikuasai dengan uang. Pragmatis karena hidupnya bergantung pada keadaan, tidak mampu mandiri. Di samping itu perlu dipertanyakan aspek moralnya. Suasana pendidikan yang penuh persaingan cenderung membentuk manusia yang bermental rendah.

Bagaimana Peran Pemerintah UU BHP
Sesuai bunyi Pasal 31 UUD 1945 Ayat 1, “Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan”, dan Pasal 31 Ayat 2 yang berbunyi “Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya”. Artinya pendidikan dasar harus diwajibkan dan tersedia secara cuma-cuma bagi semua orang. Ini berarti, pemerintah memiliki kewajiban penuh memikul seluruh beban biaya pendidikan.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan dinilai bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Namun kenyataannya adalah sampai saat ini warga negara (rakyat) masih saja dibebani dengan biaya pendidikan yang sangat tinggi. Dalam UU Sisdiknas pasal 9 meminta masyarakat berkewajiban memberikan dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan pendidikan. Walaupun dengan dalih sebagai sumbangan sukarela, namun kenyataannya adalah masyarakat memang diwajibkan untuk membayar biaya pendidikan yang seharusnya gratis. Demikian juga dengan RUU BHP yang isinya, antara lain, meminta partisipasi masyarakat atas tanggung jawab negara dalam bidang pendidikan. Ini berkaitan dengan pemenuhan atas pembiayaan pendidikan. Jika RUU BHP disahkan, setiap SD-SLTA negeri/swasta dan perguruan tinggi negeri akan menjadi BHP. Konsep BHP sebetulnya berangkat dari paradigma bahwa dalam situasi negara belum mampu membiayai pendidikan secara utuh, peran serta masyarakat sangat dibutuhkan. Namun, istilah “peran serta masyarakat” itu cenderung disalahartikan dengan cara menggali dana dari masyarakat, terutama uang kuliah mahasiswa, di samping dari kerja sama riset dengan dunia usaha. UU BHP adalah upaya pengalihan tanggung jawab negara terhadap pendidikan dengan meminta masyarakat memikul pembiayaan pendidikan. Jika UU ini diterapkan akan makin sedikit masyarakat tidak mampu yang bisa mengakses pendidikan tinggi. Konsekuensinya, kampus hanya bisa diakses oleh mahasiswa kaya, sementara yang miskin kian tersisih. Kampus yang sudah telanjur besar dengan mudah membuat jejaring dengan dunia usaha sehingga kian maju. Sebaliknya, kampus yang terbelakang sulit dilirik oleh dunia usaha sehingga tetap tertinggal di tengah ketatnya persaingan pasar.
Belajar dari “percobaan” BHMN justru terkesan sebagai dibiarkan dan perlombaan menggali dana sebanyak mungkin dari masyarakat. Biaya yang selangit dan aroma penggalangan dana besar-besaran dari orang tua peserta didik, mewarnai PT BHMN selama ini. Idealnya memang dana digali dari sumber lain melalui kerja sama dengan berbagai pihak. Bukan dari orang tua peserta didik. Namun, hal itu membutuhkan kreativitas, kerja keras, dan tentu butuh waktu lebih lama, sementara kebutuhan makin mendesak. Tak heran, fenomena penerimaan mahasiswa baru non-SPMB pun merebak. Berbagai PT BHMN punya nama-nama sendiri terhadap “pintu alternatif” ini. Harganya tidak tanggung-tanggung, bisa mencapai puluhan juta rupiah. Merekrut mahasiswa sebanyak-banyaknya dan menaikkan uang kuliah setinggi-tingginya, dan melakukan seleksi mahasiswa seringan-ringannya, memang bisa jadi rumus cespleng untuk mendapatkan dana. Perguruan tinggi di Indonesia belum berpengalaman dalam menswastakan diri. mem-BHP-kan lembaga pendidikan sebagai upaya komersialisasi dan tak lebih dari representasi neoliberalisme. Ini jelas agenda neoliberalisme, pemerintah terlihat ingin cuci tangan dari tanggung jawabnya pada pembiayaan pendidikan. Seharusnya pemerintah tidak boleh lepas tangan sama sekali. Alih-alih memenuhi batas alokasi minimal pada pembiayaan pendidikan sebesar 20 persen, dalam RUU BHP tidak terdapat kewajiban pemerintah untuk memberi dana rutin. Ujung-ujungnya nanti hanya orang kaya yang bisa masuk. Lama-lama tidak akan terjangkau oleh orang yang tidak mampu. Mahalnya biaya pendidikan mungkin tidak terlalu terasa lagi, karena lama-lama akan terbentuk komunitas homogen, alias orang yang mampu saja. Pada intinya, bentuk apa pun suatu perguruan tinggi, selama dimaksudkan untuk memperluas akses masyarakat mendapatkan pendidikan, semakin bagus.
Pemerintah perlu menimbang kesiapan masyarakat untuk menghadapi mahalnya biaya pendidikan akibat privatisasi. Privatisasi terutama sekali berpotensi membatasi orang kurang mampu untuk menikmati pendidikan berkualitas. Privatisasi pendidikan seperti yang digariskan dalam UU BHP menyebabkan pembiayaan pendidikan kembali ke masyarakat. Kondisi saat ini masyarakat dinilai belum siap untuk menanggung biaya pendidikan sendiri, tanpa campur tangan pemerintah. Dalam UU Sisdiknas (UU No 20 Tahun 2003), disebutkan bahwa pendidikan merupakan tanggung jawab pemerintah dan masyarakat. Tapi, perlu dilihat juga, kondisi dan kesiapan masyarakat sendiri. Privatisasi jelas akan melambungkan biaya pendidikan.
Rabu 31 Maret 2010 lalu, dengan penuh kebijaksanaan dan wibawa Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan UU BHP dan menyatakan UU BHP tidak lagi berlaku dan tidak lagi memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Dalam kesimpulannya MK menyatakan UU BHP Inkonstitusional atau bertentangan dengan UUD 1945. MK menilai, UU BHP ini menyeragamkan bentuk badan hukum pendidikan sehingga mengabaikan bentuk badan hukum lainya seperti yayasan, wakaf dan sebagainya. Selain itu, penyeragaman ini juga mengakibatkan orang miskin tidak bisa mengakses pendidikan padahal hal tersebut diamanatkan UUD 1945. Dengan pembatalan UU BHP ini akan membuka lembaran baru dunia pendidikan di Indonesia termasuk penyedia jasa pendidikan baik itu pendidikan dasar, menengah, atas maupun pendidikan tinggi.  Pasca pembatalan UU BHP ini, pemerintah harus mempertegas arah regulasi pendidikan, termasuk mengembangkan jaminan sosial pendidikan untuk keluarga miskin secara melembaga dan berkelanjutan dengan tunjangan pendidikan, beasiswa, dan subsidi silang.
Pemerintah harus berkomitmen untuk tetap ambil bagian dalam dunia pendidikan. Keterbatasan dana tidak dapat dijadikan alasan cuci tangan pemerintah. Dengan komitmen dan manajemen profesional, dana pendidikan dapat dimobilisasi dari berbagai sumber. Dengan Pembatalan UU BHP ini, diharapkan lembaga pendidikan dapat merubah kebijakannya. Penerimaan mahasiswa melalui jalur khusus yang diterapkan oleh beberapa perguruan tinggi yang mematok dana sampai puluhan bahkan ratusan juta sebagai sumbangan awal agar dapat mengenyam pendidikan yang diidamkan harus segera di tinjau ulang. Karena apabila kebijakan ini tetap diteruskan maka institusi pendidikan semakin tidak memberikan tempat bagi si miskin untuk mengembangkan dirinya. Perhatian yang tulus dari pemerintah dengan mengeluarkan kebijakan yang memproteksi pendidikan dari dunia komersialisai, liberalisasi serta privatisasi dan kebesaran hati dari penyelenggara pendidikan untuk memperhatikan terrhadap lingkungan sosial ekonomi adalah kunci keberhasilan dunia pendidikan. Semoga pendidikan yang berkualitas dengan biaya murah dan bahkan gratis dapat terwujud.



[1] Transformasi ini untuk memenuhi kualifikasi lulusan perguruan tinggi agar dapat berkompetisi secara global. Maka, di Eropa pun terjadi restrukturisasi pendidikan tinggi yang didorong oleh empat stimulus (Jurgen Rosemann dan Andrea Peresthu).
[2] Proses tersebut dipicu oleh krisis financial global yang mengikuti aliran global capital.  Dalam aliran financial yang anarkis ini, Negara yang  ditinggalkan modal akan mengalami krisis. Dan inilah yang terjadi di Indonesia.  Banyak penjelasan terhadap krisis tersebut. Salah satu penjelasan adalah penjelasan ekonomi politik.  Penjelasan ekonomi politik berarti memberikan penekanan pada peranan semua kekuatan (power)/segala hal baik proses social maupun kelembagaan, termasuk  kekuatan ekonomi maupun elite yang berpengaruh dalam pengambilan kebijakan ekonomi (Todaro, 1994:4).
[3] Apabila dua konteks tersebut kita racik maka konteks politik otonomi pendidikan adalah, kebutuhan objektif mengkonsolidir kekuatan untuk menghadapi serangan terhadap legitimasi politik kekuasaan di satu sisi, dan kebangkrutan keuangan negara sebagai dampak pembusukan internal dan masa transisional neoliberal di Indonesia. Perjumpaan dua titik kepentingan inilah yang menjadi basis sosial material otonomi pendidikan.
[4] Dengan adanya BHMN ini terjadi perubahan kelembagaan pada Universitas. Sebelumnya, PT merupakan institusi di bawah Departemen Nasional, sekarang menjadi institusi mandiri yang berhak untuk melakukan perbuatan hukum seperti badan hukum lainnya.  Struktur organisasinya terdiri dari Majelis Wali Amanat (MWA/board of Trustee), Dewan Audit dan Akademik, Senat Akademik, dan lembaga-lembaga lainnya.
[5] Shiraishi mengatakan: Lahirnya pendidikan Barat di Indonesia tidak hanya sekuler, namun ia masuk dalam tatanan kolonial yang terbagi secara rasial dan linguistik, serta terpusat secara politik. Dalam pendidikan Barat ini, semakin tinggi sekolah seseorang, maka semakin dekat ia dengan pusat-pusat kota dunia kolonial. Dengan demikian, kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan yang pantas semakin terbuka, namun akan semakin terhisap dalam cara hidup generasi tuanya kolonial. (Shiraishi,1997: 36).
[6] Ignas Kleden, Masyarakat dan Negara, Sebuah Persoalan, (Magelang: Indonesiatera, Cet, I., 2004) h. 150.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar