Oleh : CHE HUDA

Oleh  : CHE HUDA

Jumat, 14 Januari 2011

GLOBALISASI EKONOMI & POLITIK INTERNASIONAL



Globalisasi adalah sebuah istilah yang memiliki hubungan dengan peningkatan keterkaitan dan ketergantungan antarbangsa dan antarmanusia di seluruh dunia dunia melalui perdagangan, investasi, perjalanan, budaya populer, dan bentuk bentuk interaksi yang lain sehingga batas-batas suatu negara menjadi bias. Dalam banyak hal, globalisasi mempunyai banyak karakteristik yang sama dengan internasionalisasi, dan istilah ini sering dipertukarkan. Sebagian pihak sering menggunakan istilah globalisasi yang dikaitkan dengan berkurangnya peran negara atau batas batas negara.



Pengertian

Kata "globalisasi" diambil dari kata global, yang maknanya ialah universal. Sebagai fenomena baru, globalisasi belum memiliki definisi yang mapan, kecuali sekadar definisi kerja (working definition), sehingga tergantung dari sisi mana orang melihatnya. Ada yang memandangnya sebagai suatu proses sosial, atau proses sejarah, atau proses alamiah yang akan membawa seluruh bangsa dan negara di dunia makin terikat satu sama lain, mewujudkan satu tatanan kehidupan baru atau kesatuan ko-eksistensi dengan menyingkirkan batas-batas geografis, ekonomi dan budaya masyarakat.

Mitos yang hidup selama ini tentang globalisasi adalah bahwa proses globalisasi akan membuat dunia seragam. Proses globalisasi akan menghapus identitas dan jati diri. Kebudayaan lokal atau etnis akan ditelan oleh kekuatan budaya besar atau kekuatan budaya global. Anggapan atau jalan pikiran di atas tersebut tidak sepenuhnya benar. Kemajuan teknologi komunikasi memang telah membuat batas-batas dan jarak menjadi hilang dan tak berguna. John Naisbitt (1988), dalam bukunya yang berjudul Global Paradox ini memperlihatkan hal yang justru bersifat paradoks dari fenomena globalisasi. Naisbitt (1988) mengemukakan pokok-pokok pikiran lain yang paradoks, yaitu semakin kita menjadi universal, tindakan kita semakin kesukuan, dan berpikir lokal, bertindak global. Hal ini dimaksudkan kita harus mengkonsentrasikan kepada hal-hal yang bersifat etnis, yang hanya dimiliki oleh kelompok atau masyarakat itu sendiri sebagai modal pengembangan ke dunia Internasional.

Di sisi lain, ada yang melihat globalisasi sebagai sebuah proyek yang diusung oleh negara-negara adikuasa, sehingga bisa saja orang memiliki pandangan negatif atau curiga terhadapnya. Dari sudut pandang ini, globalisasi tidak lain adalah kapitalisme dalam bentuknya yang paling mutakhir. Negara-negara yang kuat dan kaya praktis akan mengendalikan ekonomi dunia dan negara-negara kecil makin tidak berdaya karena tidak mampu bersaing. Sebab, globalisasi cenderung berpengaruh besar terhadap perekonomian dunia, bahkan berpengaruh terhadap bidang-bidang lain seperti budaya dan agama.



Ciri Globalisasi

Berikut ini beberapa ciri yang menandakan semakin berkembangnya fenomena globalisasi di dunia. Hilir mudiknya kapal-kapal pengangkut barang antarnegara menunjukkan keterkaitan antarmanusia di seluruh dunia. Perubahan dalam konsep ruang dan waktu. Perkembangan barang-barang seperti telepon genggam, televisi satelit, dan internet menunjukkan bahwa komunikasi global terjadi demikian cepatnya, sementara melalui pergerakan massa semacam turisme memungkinkan kita merasakan banyak hal dari budaya yang berbeda.

Pasar dan produksi ekonomi di negara-negara yang berbeda menjadi saling bergantung sebagai akibat dari pertumbuhan eprdagangan internasional, peningkatan pengaruh perusahaan multinasional, dan dominasi organisasi semacam World Trade Organization (WTO). Peningkatan interaksi kultural melalui perkembangan media massa (terutama televisi, film, musik, dan transmisi berita dan olah raga internasional). saat ini, kita dapat mengonsumsi dan mengalami gagasan dan pengalaman baru mengenai hal-hal yang melintasi beraneka ragam budaya, misalnya dalam bidang fashion, literatur, dan makanan. Meningkatnya masalah bersama, misalnya pada bidang lingkungan hidup, krisis multinasional, inflasi regional dan lain-lain.

Kennedy dan Cohen menyimpulkan bahwa transformasi ini telah membawa kita pada globalisme, sebuah kesadaran dan pemahaman baru bahwa dunia adalah satu. Giddens menegaskan bahwa kebanyakan dari kita sadar bahwa sebenarnya diri kita turut ambil bagian dalam sebuah dunia yang harus berubah tanpa terkendali yang ditandai dengan selera dan rasa ketertarikan akan hal sama, perubahan dan ketidakpastian, serta kenyataan yang mungkin terjadi. Sejalan dengan itu, Peter Drucker menyebutkan globalisasi sebagai zaman transformasi sosial. Setiap beberapa ratus tahun dalam sejarah manusia, transformasi hebat terjadi. Dalam beberapa dekade saja, masyarakat telah berubah kembali baik dalam pandangan mengenai dunia, nilai-nilai dasar, struktur politik dan sosial, maupun seni. Lima puluh tahun kemudian muncullah sebuah dunia baru.



Teori Globalisasi

Cochrane dan Pain menegaskan bahwa dalam kaitannya dengan globalisasi, terdapat tiga posisi teroritis yang dapat dilihat, yaitu: Para globalis percaya bahwa globalisasi adalah sebuah kenyataan yang memiliki konsekuensi nyata terhadap bagaimana orang dan lembaga di seluruh dunia berjalan. Mereka percaya bahwa negara-negara dan kebudayaan lokal akan hilang diterpa kebudayaan dan ekonomi global yang homogen. meskipun demikian, para globalis tidak memiliki pendapat sama mengenai konsekuensi terhadap proses tersebut.

Para globalis positif dan optimistis menanggapi dengan baik perkembangan semacam itu dan menyatakan bahwa globalisasi akan menghasilkan masyarakat dunia yang toleran dan bertanggung jawab. Para globalis pesimis berpendapat bahwa globalisasi adalah sebuah fenomena negatif karena hal tersebut sebenarnya adalah bentuk penjajahan barat (terutama Amerika Serikat) yang memaksa sejumlah bentuk budaya dan konsumsi yang homogen dan terlihat sebagai sesuatu yang benar dipermukaan. Beberapa dari mereka kemudian membentuk kelompok untuk menentang globalisasi (antiglobalisasi). Para tradisionalis tidak percaya bahwa globalisasi tengah terjadi. Mereka berpendapat bahwa fenomena ini adalah sebuah mitos sematau atau, jika memang ada, terlalu dibesar-besarkan. Mereka merujuk bahwa kapitalisme telah menjadi sebuah fenomena internasional selama ratusan tahun. Apa yang tengah kita alami saat ini hanyalah merupakan tahap lanjutan, atau evolusi, dari produksi dan perdagangan kapital.

Para transformasionalis berada di antara para globalis dan tradisionalis. Mereka setuju bahwa pengaruh globalisasi telah sangat dilebih-lebihkan oleh para globalis. Namun, mereka juga berpendapat bahwa sangat bodoh jika kita menyangkal keberadaan konsep ini. Posisi teoritis ini berpendapat bahwa globalisasi seharusnya dipahami sebagai "seperangkat hubungan yang saling berkaitan dengan murni melalui sebuah kekuatan, yang sebagian besar tidak terjadi secara langsung". Mereka menyatakan bahwa proses ini bisa dibalik, terutama ketika hal tersebut negatif atau, setidaknya, dapat dikendalikan.



Sejarah Globalisasi

Banyak sejarawan yang menyebut globalisasi sebagai fenomena di abad ke-20 ini yang dihubungkan dengan bangkitnya ekonomi internasional. Padahal interaksi dan globalisasi dalam hubungan antarbangsa di dunia telah ada sejak berabad-abad yang lalu. Bila ditelusuri, benih-benih globalisasi telah tumbuh ketika manusia mulai mengenal perdagangan antarnegeri sekitar tahun 1000 dan 1500 M. Saat itu, para pedagang dari Cina dan India mulai menelusuri negeri lain baik melalui jalan darat (seperti misalnya jalur sutera) maupun jalan laut untuk berdagang.

Fenomena berkembangnya perusahaan McDonald di seluroh pelosok dunia menunjukkan telah terjadinya globalisasi. Fase selanjutnya ditandai dengan dominasi perdagangan kaum muslim di Asia dan Afrika. Kaum muslim membentuk jaringan perdagangan yang antara lain meliputi Jepang, Cina, Vietnam, Indonesia, Malaka, India, Persia, pantai Afrika Timur, Laut Tengah, Venesia, dan Genoa. Di samping membentuk jaringan dagang, kaum pedagang muslim juga menyebarkan nilai-nilai agamanya, nama-nama, abjad, arsitek, nilai sosial dan budaya Arab ke warga dunia. Fase selanjutnya ditandai dengan eksplorasi dunia secara besar-besaran oleh bangsa Eropa. Spanyol, Portugis, Inggris, dan Belanda adalah pelopor-pelopor eksplorasi ini. Hal ini didukung pula dengan terjadinya revolusi industri yang meningkatkan keterkaitan antarbangsa dunia. berbagai teknologi mulai ditemukan dan menjadi dasar perkembangan teknologi saat ini, seperti komputer dan internet. Pada saat itu, berkembang pula kolonialisasi di dunia yang membawa pengaruh besar terhadap difusi kebudayaan di dunia.

Semakin berkembangnya industri dan kebutuhan akan bahan baku serta pasar juga memunculkan berbagai perusahaan multinasional di dunia. Di Indinesia misalnya, sejak politik pintu terbuka, perusahaan-perusahaan Eropa membuka berbagai cabangnya di Indonesia. Freeport dan Exxon dari Amerika Serikat, Unilever dari Belanda, British Petroleum dari Inggris adalah beberapa contohnya. Perusahaan multinasional seperti ini tetap menjadi ikon globalisasi hingga saat ini.

Fase selanjutnya terus berjalan dan mendapat momentumnya ketika perang dingin berakhir dan komunisme di dunia runuh. Runtuhnya komunisme seakan memberi pembenaran bahwa kapitalisme adalah jalan terbaik dalam mewujudkan kesejahteraan dunia. Implikasinya, negara negara di dunia mulai menyediakan diri sebagai pasar yang bebas. Hal ini didukung pula dengan perkembangan teknologi komunikasi dan transportasi. Alhasil, sekat-sekat antarnegara pun mulai kabur.



Globalisasi Perekonomian

Globalisasi perekonomian merupakan suatu proses kegiatan ekonomi dan perdagangan, dimana negara-negara di seluruh dunia menjadi satu kekuatan pasar yang semakin terintegrasi dengan tanpa rintangan batas teritorial negara. Globalisasi perekonomian mengharuskan penghapusan seluruh batasan dan hambatan terhadap arus modal, barang dan jasa.

Ketika globalisasi ekonomi terjadi, batas-batas suatu negara akan menjadi kabur dan keterkaitan antara ekonomi nasional dengan perekonomian internasional akan semakin erat. Globalisasi perekonomian di satu pihak akan membuka peluang pasar produk dari dalam negeri ke pasar internasional secara kompetitif, sebaliknya juga membuka peluang masuknya produk-produk global ke dalam pasar domestik. Menurut Tenri Abeng, perwujudan nyata dari globalisasi ekonomi antara lain terjadi dalam bentuk-bentuk berikut:

1.            Globalisasi produksi, di mana perusahaan berproduksi di berbagai negara, dengan sasaran agar biaya produksi menajdi lebih rendah. Hal ini dilakukan baik karena upah buruh yang rendah, tarif bea masuk yang murah, infrastruktur yang memadai ataupun karena iklim usaha dan politik yang kondusif. Dunia dalam hal ini menjadi lokasi manufaktur global. Kehadiran tenaga kerja asing merupakan gejala terjadinya globalisasi tenaga kerja

2.            Globalisasi pembiayaan. Perusahaan global mempunyai akses untuk memperoleh pinjaman atau melakukan investasi (baik dalam bentuk portofolio ataupun langsung) di semua negara di dunia. Sebagai contoh, PT Telkom dalam memperbanyak satuan sambungan telepon, atau PT Jasa Marga dalam memperluas jaringan jalan tol telah memanfaatkan sistem pembiayaan dengan pola BOT (build-operate-transfer) bersama mitrausaha dari manca negara.

3.            Globalisasi tenaga kerja. Perusahaan global akan mampu memanfaatkan tenaga kerja dari seluruh dunia sesuai kelasnya, seperti penggunaan staf profesional diambil dari tenaga kerja yang telah memiliki pengalaman internasional atau buruh kasar yang biasa diperoleh dari negara berkembang. Dengan globalisasi maka human movement akan semakin mudah dan bebas.

4.            Globalisasi jaringan informasi. Masyarakat suatu negara dengan mudah dan cepat mendapatkan informasi dari negara-negara di dunia karena kemajuan teknologi, antara lain melalui: TV,radio,media cetak dll. Dengan jaringan komunikasi yang semakin maju telah membantu meluasnya pasar ke berbagai belahan dunia untuk barang yang sama. Sebagai contoh : KFC, celana jeans levi's, atau hamburger melanda pasar dimana-mana. Akibatnya selera masyarakat dunia -baik yang berdomisili di kota ataupun di desa- menuju pada selera global.

5.            Globalisasi Perdagangan. Hal ini terwujud dalam bentuk penurunan dan penyeragaman tarif serta penghapusan berbagai hambatan nontarif. Dengan demikian kegiatan perdagangan dan persaingan menjadi semakin cepat, ketat, dan fair.

Thompson mencatat bahwa kaum globalis mengklaim saat ini telah terjadi sebuah intensifikasi secara cepat dalam investasi dan perdagangan internasional. Misalnya, secara nyata perekonomian nasional telah menjadi bagian dari perekonomian global yang ditengarai dengan adanya kekuatan pasar dunia. Globalisasi kebudayaan sub-kebudayaan Punk, adalah contoh sebuah kebudayaan yang berkembang secara global.

Globalisasi mempengaruhi hampir semua aspek yang ada di masyarakat, termasuk diantaranya aspek budaya. Kebudayaan dapat diartikan sebagai nilai-nilai (values) yang dianut oleh masyarakat ataupun persepsi yang dimiliki oleh warga masyarakat terhadap berbagai hal. Baik nilai-nilai maupun persepsi berkaitan dengan aspek-aspek kejiwaan/psikologis, yaitu apa yang terdapat dalam alam pikiran. Aspek-aspek kejiwaan ini menjadi penting artinya apabila disadari, bahwa tingkah laku seseorang sangat dipengaruhi oleh apa yang ada dalam alam pikiran orang yang bersangkutan. Sebagai salah satu hasil pemikiran dan penemuan seseorang adalah kesenian, yang merupakan subsistem dari kebudayaan.

Globalisasi sebagai sebuah gejala tersebarnya nilai-nilai dan budaya tertentu keseluruh dunia (sehingga menjadi budaya dunia atau world culture) telah terlihat semenjak lama. Cikal bakal dari persebaran budaya dunia ini dapat ditelusuri dari perjalanan para penjelajah Eropa Barat ke berbagai tempat di dunia ini ( Lucian W. Pye, 1966 ). Namun, perkembangan globalisasi kebudayaan secara intensif terjadi pada awal ke-20 dengan berkembangnya teknologi komunikasi. Kontak melalui media menggantikan kontak fisik sebagai sarana utama komunikasi antarbangsa. Perubahan tersebut menjadikan komunikasi antarbangsa lebih mudah dilakukan, hal ini menyebabkan semakin cepatnya perkembangan globalisasi kebudayaan.









Ciri Berkembangnya Globalisasi Kebudayaan

1.            Berkembangnya pertukaran kebudayaan internasional.

2.            Penyebaran prinsip multikebudayaan (multiculturalism), dan kemudahan akses suatu individu terhadap kebudayaan lain di luar kebudayaannya.

3.            Berkembangnya turisme dan pariwisata.

4.            Semakin banyaknya imigrasi dari suatu negara ke negara lain.

5.            Berkembangnya mode yang berskala global, seperti pakaian, film dan lain lain.

6.            Bertambah banyaknya event-event berskala global, seperti Piala Dunia FIFA.



Reaksi Masyarakat: Gerakan Pro-Globalisasi

Pendukung globalisasi (sering juga disebut dengan pro-globalisasi) menganggap bahwa globalisasi dapat meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran ekonomi masyarakat dunia. Mereka berpijak pada teori keunggulan komparatif. Teori ini menyatakan bahwa suatu negara dengan negara lain saling bergantung dan dapat saling menguntungkan satu sama lainnya, dan salah satu bentuknya adalah ketergantungan dalam bidang ekonomi. Kedua negara dapat melakukan transaksi pertukaran sesuai dengan keunggulan komparatif yang dimilikinya. Misalnya, Jepang memiliki keunggulan komparatif pada produk kamera digital (mampu mencetak lebih efesien dan bermutu tinggi) sementara Indonesia memiliki keunggulan komparatif pada produk kainnya. Dengan teori ini, Jepang dianjurkan untuk menghentikan produksi kainnya dan mengalihkan faktor-faktor produksinya untuk memaksimalkan produksi kamera digital, lalu menutupi kekurangan penawaran kain dengan membelinya dari Indonesia, begitu juga sebaliknya.

Salah satu penghambat utama terjadinya kerjasama diatas adalah adanya larangan-larangan dan kebijakan proteksi dari pemerintah suatu negara. Di satu sisi, kebijakan ini dapat melindungi produksi dalam negeri, namun di sisi lain, hal ini akan meningkatkan biaya produksi barang impor sehingga sulit menembus pasar negara yang dituju. Para pro-globalisme tidak setuju akan adanya proteksi dan larangan tersebut, mereka menginginkan dilakukannya kebijakan perdagangan bebas sehingga harga barang-barang dapat ditekan, akibatnya permintaan akan meningkat. Karena permintaan meningkat, kemakmuran akan meningkat dan begitu seterusnya.

Beberapa kelompok pro-globalisme juga mengkritik Bank Dunia dan IMF, mereka berpendapat bahwa kedua badan tersebut hanya mengontrol dan mengalirkan dana kepada suatu negara, bukan kepada suatu koperasi atau perusahaan. Sebagai hasilnya, banyak pinjaman yang mereka berikan jatuh ke tangan para diktator yang kemudian menyelewengkan dan tidak menggunakan dana tersebut sebagaimana mestinya, meninggalkan rakyatnya dalam lilitan hutang negara, dan sebagai akibatnya, tingkat kemakmuran akan menurun. Karena tingkat kemakmuran menurun, akibatnya masyarakat negara itu terpaksa mengurangi tingkat konsumsinya; termasuk konsumsi barang impor, sehingga laju globalisasi akan terhambat dan—menurut mereka—mengurangi tingkat kesejahteraan penduduk dunia. (Gerakan Antiglobalisasi) Antiglobalisasi adalah suatu istilah yang umum digunakan untuk memaparkan sikap politis orang-orang dan kelompok yang menentang perjanjian dagang global dan lembaga-lembaga yang mengatur perdagangan antar negara seperti Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). "Antiglobalisasi" dianggap oleh sebagian orang sebagai gerakan sosial, sementara yang lainnya menganggapnya sebagai istilah umum yang mencakup sejumlah gerakan sosial yang berbeda-beda. Apapun juga maksudnya, para peserta dipersatukan dalam perlawanan terhadap ekonomi dan sistem perdagangan global saat ini, yang menurut mereka mengikis lingkungan hidup, hak-hak buruh, kedaulatan nasional, dunia ketiga, dan banyak lagi penyebab-penyebab lainnya. Namun, orang-orang yang dicap "antiglobalisasi" sering menolak istilah itu, dan mereka lebih suka menyebut diri mereka sebagai Gerakan Keadilan Global, Gerakan dari Semua Gerakan atau sejumlah istilah lainnya.













Neoliberalisme sebagai Ancaman bagi Kaum Miskin

Pada bagian ini, saya akan membahas seputar apa itu neoliberalisme, bagaimana perkembangannya, serta apa dampak dari penerapannya. Jika dalam bagian sebelumnya saya berargumen bahwa ketika negara mendapat kesempatan untuk memiliki kekuasaan mengelola dan mengontrol sepenuhnya urusan sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya, ternyata amanat itu telah dikhianati dan mengakibatkan proses dehumanisasi dan kesengsaraan sebagian besar rakyat miskin. Penggusuran, pencaplokan tanah demi untuk pembangunan serta berbagai pemaksaan program pembangunan seperti program KB, program pertanian maupun berbagai program kesehatan telah mengakibatkan jutaan rakyat menderita. Namun pada tahun 1997 model kapitalisme negara, pembangunanisme ini akhirnya mengalami keruntuhan, dimana salah satu sebabnya adalah akibat ditenggelamkan dan didominasi oleh kekuatan neoliberalisme global. Oleh karena itu neoliberalisme segera menggantikan model pembangunan yang telah membawa bencana. Tetapi apakah pengganti pembangunanisme, yakni model ekonomi persaingan bebas neoliberalisme ini merupkan solusi ataukah justru bencana baru bagi rakyat? Inilah pertanyaan dasar yang ingin saya jawab dalam bagian ini.

Meskipun agak terlambat membahasnya karena neoliberalisme saat ini telah diterapkan menjadi kebijakan politik dan ekonomi negara kita, namun kita perlu memahami bagaimana neoliberalisme beroperasi untuk memahami akar dari kemiskinan. Sebagai “the dominant discourse” (wacana dominan), kebijakan yang berwatak neoliberal diyakini bagaikan “agama baru,” dan diamalkan secara sistemik dan struktural melalui mekanisme kebijakan—dari kebijakan tingkat lokal, kebijakan nasional bahkan hingga tingkat global. Neoliberalisme sebagai suatu ideologi, dalam praktiknya mengambil bentuk penerapan paket kebijakan ekonomi dan politik yang sesungguhnya sudah diterapkan di negeri kita sejak menjelang krisis pada medio 1997 hingga saat ini. Meskipun dikalangan aktivis gerakan sosial di mana-mana sudah lama membincangkan dan mewaspadai bahkan melakukan resistensi terhadap kebijakan neoliberalisme, namun di Amerika Serikat, tempat yang dianggap sebagai awal berkembangan neoliberalisme, justru jarang sekali dibicarakan orang. Bagi kalangan rakyat bawah di Amerika, sebenarnya dampak neoliberalisme sudah mereka rasakan dengan terjadinya kesenjangan yang kaya menjadi semakin kaya sementara yang miskin menjadi semakin miskin. Berbeda dengan di Amerika, di wilayah kita, neoliberalisme dibicarakan dan diwaspadai, namun masih jarang orang memahami betul apa sebenarnya hakikat dan mekanisme neoliberalisme, bagaimana penerapan dan wujud kongkretnya? bagaimana bekerjanya dan dampaknya serta bagaimana menghentikannya, sesunguhnya masih belum jelas betul. Oleh karena itu dalam bagian ini saya akan mengupas secara tuntas pertanyaan-pertanyaan seputar neoliberalisme tersebut.



Apa yang Dimaksud Neoliberalisme?


Membahas neoliberalisme, akan menjadi sulit jika kita tidak menyinggung apa itu liberalisme. Paham liberalisme berkonotasi luas, dapat mengacu pada paham ekonomi, politik bahkan dapat juga sebagai gagasan agama. Dalam sistem politik Amerika Serikat, bahkan liberalisme dipergunakan sebagai strategi untuk menghindarkan konflik sosial. Bagi kalangan orang miskin maupun buruh Amerika, anehnya kata “liberal” dipahami lebih “progresif” dibandingkankan dengan “konservatif” atau bahkan dianggap lawan dari “sayap kanan.” Para politisi konservatif di sana umumnya khawatir jika dicap sebagai “liberal,” namun ketakutan label itu tidak ada sangkut pautnya dengan liberalisme ekonomi maupun neoliberalisme yang sedang kita bahas ini. Liberalisme dengan demikian mempunyai makna berbeda dari satu tempat ke tempat yang lain. Liberalisme asal mulanya merupakan bentuk perjuangan kaum borjuasi menghadapi kaum konservatif. Sehingga boleh dikatakan bahwa liberalisme tadinya merupakan idologi kaum borjuasi kota. Dalam arti luas, liberalisme adalah paham yang mempertahankan otonomi individu melawan intervensi komunitas. Tapi memang ada liberalisme ekonomi ada juga “civic liberalism” atau liberalisme otonomi individual.

Liberalisme ekonomi ini yang nantinya berkembang menjadi neo-liberalisme. Pada pokoknya paham ini memperjuangkan leissez faire (persaingan bebas) yakni paham yang memperjuangkan hak-hak atas pemilikan dan kebebasan individual. Mereka lebih percaya pada kekuatan pasar untuk menyelesaikan masalah sosial ketimbang melalui metode regulasi negara.

Kata neo dalam neoliberalisme yang sedang kita bincangkan ini sesungguhnya merujuk pada bangkitnya kembali bentuk baru aliran ekonomi liberalisme lama yang mulanya dibangkitkan oleh ekonom Inggris Adam Smith dalam karyanya yang berjudul The Wealth of Nations (1776), dimana dia dan kawan-kawannya menggagas penghapusan intervensi pemerintah dalam ekonomi. Pemerintah haruslah membiarkan mekanisme pasar bekerja, pemerintah seharusnya melakukan deregulasi, dengan mengurangi segenap restriksi pada industri, mencabut semua rintangan birokratis perdagangan, ataupun menghilangkan tarif bagi perdagangan demi menjamin terwujudnya free trade. Perdagangan dan persaingan bebas adalah cara terbaik bagi ekonomi nasional untuk berkembang. Dengan demikian, liberalisme di sini berkonotasi “bebas dari kontrol pemerintah,” atau kebebasan individual untuk menjalankan persaingan bebas, termasuk kebebasan bagi kaum kapitalis untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya. Ekonomi model liberalisme inilah yang menjadi dasar bagi ekonomi Amerika pada tahun 1800-an sampai awal 1900-an. Tapi konsep tersebut akhirnya runtuh saat bencana depresi (The Great Depression) di tahun 1930-an menghempaskan sistem itu.

Krisis ekonomi depresi itu memunculkan seorang ekonom berkebangsaan Inggris John Maynard Keynes tampil dengan pemikiran alternatif terhadap paham liberal. Ia mengembangkan teori yang menantang kebijakan liberalisme. Sebaliknya, Keynes mengembangkan gagasan yang justru mempertahankan bahwa “full employment” buruh berperan strategis bagi perkembangan kapitalisme, dan untuk itu peran pemerintah dan Bank Sentral justru menurutnya harus dilibatkan untuk menciptakan lapangan kerja. Inilah gagasan yang mempengaruhi Presiden Roosevelt yang kemudian mengembangkan program “New Deal” karena dianggap berhasil menyelamatkan rakyat Amerika waktu itu. Sejak itulah “peran pemerintah” dalam ekonomi makin dapat diterima.

Sejak saat itu pulalah peran negara dalam bidang ekonomi semakin menguat dan menenggelamkan paham liberalisme. Namun krisis kapitalisme selama 25 tahun terakhir, dan semakin berkurangnya tingkat profit yang berakibat pada jatuhnya akumulasi kapital, meneguhkan tekad korporasi besar untuk kembali ke sistem liberalisme. Melalui “corporate globalization” mereka merebut kembali ekonomi dan berhasil mengembalikan paham liberalisme bahkan berskala global.

Paham neoliberalisme saat ini telah mengglobal. Neoliberalisme mulanya dikembangkan melalui “konsesus” yang dipaksakan melalui penerapan kebijakan neoliberalisme. Saat ini neoliberalisme berhasil menjadi suatu tata dunia ekonomi politik baru. Arsitektur tata dunia ini ditetapkan dalam suatu kesepakatan yang dikenal sebagai The Neoliberal Washington Consensus, kesepakatan dari para pembela ekonomi privat terutama wakil dari perusahaan-perusahaan besar yang mengontrol dan menguasai ekonomi internasional dan memiliki kekuasaan untuk mendominasi informasi kebijakan dalam membentuk opini publik secara global.

Apa sebenarnya yang menjadi pendirian paham neoliberalisme? Pada intinya paham neoliberalisme dapat dirumuskan ke dalam pokok-pokok pendirian sebagai berikut: Pertama, Biarkan Pasar bekerja. Kepercayaan ini termasuk membebaskan perusahaan swasta (private enterprise) dari negara atau pemerintah, apa pun akibat sosialnya. Penerapan kepercayaan tersebut berupa pemberian ruang bebas dan keterbukaan terhadap perdagangan internasional dan investasi seperti AFTA maupun NAFTA, maupun dalam bentuk kawasan pertumbuhan yang lebih kecil yang merupakan area bebas dari birokrasi negara. Masuk dalam kepercayaan ini juga: tekan pengeluaran upah dengan melakukan politik pecah belah persatuan buruh serta lenyapkan “hak-hak buruh” dimana selama ini menjadi media perjuangan para buruh “memaksakan kehendak mereka.” Selanjutnya, lenyapkan kontrol atas harga, biarkan “pasar bekerja” tanpa distorsi. Masuk dalam keyakinan ini adalah berikan kebebasan total arus kapital, barang dan jasa. Semua itu mereka rumuskan dalam suatu kredo: unregulated market is the best way to increase economic growth. Keyakinan bahwa hanya melalui pasar bebas pertumbuhan bisa dicapai ini selanjutnya membawa ajaran trickle down dalam ekonomi sebagai jalan pemerataan.

Keyakinan kedua, kurangi pemborosan dengan memangkas semua anggaran negara yang tidak produktif seperti subsidi untuk pelayanan sosial seperti anggaran pendidikan, kesehatan, dan jaminan sosial lainnya. Semua itu juga dilakukan sekali lagi untuk mengurangi peran negara. Pemotongan segala yang berbau subsidi ini tentu saja retorika belaka, karena kebijakan neoliberal justru memberikan subsidi besar-besar pada perusahaan transnasional melalui program “tax benefits” maupun “tax holidays.”

Ketiga, neoliberalisme juga percaya pada perlunya deregulasi ekonomi. Keyakinan ini diterapkan dengan mengurangi segala bentuk regulasi negara atau pemerintah terhadap usaha kebebasan ekonomi, karena regulasi selalu mengurangi keuntungan, termasuk regulasi mengenai Analisa Dampak Lingkungan, ataupun aturan keselamatan kerja dan sebagainya. Dalam rangka itu pulalah mereka percaya perlunya Bank Sentral yang independen.

Keempat, Keyakinan terhadap Privatisasi. Jual semua perusahan negara kepada investor swasta. Privatisasi ini termasuk dibidang perbankan, industri strategis, perkeretaapian dan transportasi umum, PLN, Sekolah dan Universitas, Rumah sakit Umum, bahkan privatisasi air. Kebijakan neoliberal tentang privatisasi ini dilakukan dengan alasan selain demi keyakinan “persaingan bebas” yang biasanya dibungkus demi “efisiensi dan mengurangi korupsi,” tapi kenyataannya berakibat pada konsentrasi kapital di tangan sedikit orang dan dan memaksa rakyat kecil membayar lebih mahal atas kebutuhan dasar mereka.

Keyakinan Kelima, masukkan gagasan “barang-barang publik,” paham sosial atau komunitas seperti “gotong royong” serta berbagai keyakinan solidaritas sosial yang hidup di rakyat ke dalam peti es, untuk kemudian diganti dengan paham “tanggung jawab individual.” Seringkali golongan paling miskin dalam masyarakat menjadi korban dari kebijakan neoliberal, dan mereka harus memecahkan masalah mereka seperti masalah kesehatan, pendidikan, jaminan sosial serta masalah-masalah lainnya dengan usaha yang sangat memberatkan bagi kehidupan mereka.



Apa Saja Bentuk Kebijakan Neoliberal?


Di mana-mana kebijakan neoliberalisme diterapkan melalui paksaan oleh lembaga finansial internasional seperti International Monetary Fund (IMF) dan World Bank. Kalau mau contoh bagaimana kebijakan neoliberalisme diterapkan, maka Anda tidak perlu mencarinya jauh-jauh. Kebijakan ekonomi Indonesia selama dan setelah krisis seperti pemotongan subsidi minyak, privatisasi bank negara, privatisasi universitas dan pendidikan, privatisasi perusahan listrik negara, privatisasi rumah sakit umum dan privatisasi perusahaan pertambangan dan perkebunan negara yang dulu hasil dari nasionalisasi diawal kemerdekaan adalah bentuk nyata dari kebijakan neoliberal. Demikian halnya divestasi terhadap perusahaan-perusahaan negara dan bank pemerintah, liberalisasi perdagangan dan perpajakan yang semuanya diterapkan pasca krisis hingga kini adalah contoh terbaik bagaimana kebijakan neoliberal. Itulah makanya banyak orang mulai menganggap bahwa neoliberalisme berarti rekolonisasi. Di mana-mana kebijakan neoliberal juga membawa bencana. Di Amerika Serikat misalnya, kebijakan neoliberalisme menghancurkan program kesejahteraan; menghancurkan hak-hak buruh termasuk buruh migran; serta pemangkasan program sosial dan jaminan sosial, seperti penolakan perlindungan hak anak dan lain sebagainya. Lantas, siapa yang diuntungkan oleh kebijakan neoliberalisme? Mereka yang diuntungkan adalah justru golongan kecil minoritas dari umat manusia. Mereka adalah para pemilik modal dari perusahaan transnasional (TNCs) yang justru hanya dengan iklim kebijakan persaingan bebas, mereka dapat melakukan ekspansi makin besar. Akan tetapi mayoritas umat manusia justru terpuruk dalam penderitaan yang belum pernah mereka alami sebelumnya.





Apa Mitos-mitos Neoliberalisme tentang Pasar Bebas?


Dewasa ini, banyak orang menanti harap-harap cemas tentang datangnya era pasar bebas. Pasar bebas kemudian menjadi kata kunci untuk memecahkan berbagai masalah pertumbuhan ekonomi. Pasar bebas tiba-tiba telah menjadi kata kunci yang dipercayai satu-satunya jalan untuk kemakmuran dan pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu tugas negara dan atau pemerintah bagi paham neoliberal harus menjamin berlakunya pasar bebas, agar persaingan bebas terjadi. Oleh karena itu, segenap kebijakan pemerintah yang akan menghalangi persaingan bebas harus disingkirkan. Itulah mengapa segala kebijakan mengenai subsidi, perusahaan negara, pajak, sumber daya alam, dan lain sebagainya harus di reformasi agar tidak mengganggu persaingan bebas. Saat ini hampir semua yang dianggap menghalangi berlakunya “pasar bebas” telah disingkirkan, termasuk amandemen UUD ‘45 bagi pasal-pasal yang berbunyi kekuasaan ekonomi negara dan demi kesejahteran rakyat telah dihapus. Ekonomi yang disusun berdasarkan prinsip efisiensi dianggap sebagai jalan menuju kemakmuran.

 Dalam rangka memantapkan kebijakan neoliberalisme, sebelumnya mereka para pendukung neoliberalisme telah melakukan kampanye untuk mempengaruhi publik tentang neoliberalisme dengan memproduksi mitos-mitos neoliberalisme dan pasar bebas. Untuk itu dalam bagian ini saya mengajak Anda mengupas mitos-mitos pasar bebas. Apa memang pasar bebas adalah sebuah masa depan yang menjanjikan kemakmuran, ataukah pasar bebas justru merupakan masalah dan tantangan. Mitos-mitos tersebut meliputi: pertama, mitos bahwa dengan perdagangan bebas akan menjamin pangan murah dan kelaparan tidak akan terjadi. Kenyataannya perdagangan bebas dibidang pangan justru menaikkan harga pangan. Mitos kedua, bahwa WTO dan TNCs akan memproduksi pangan yang aman. Kenyataannya, dengan rekayasa genetika dan penggunaan pestisida dan racun kimia, justru membahayakan kehidupan manusia. Mitos ketiga, bahwa kaum perempuan akan diuntungkan oleh pasar bebas pangan. Kenyataannya, perempuan petani semakin tersingkir baik sebagi produsen maupun konsumen. Mitos keempat, bahwa paten akan melindungi inovasi dan pengetahuan. Kenyataannya, paten dan hak kekayaan intelektual dibidang mikro-organisme dan “germ plasma,” selain melegalisasi pencurian keanekargaman hayati petani serta bibit dan menjualnya kembali pada petani demi keuntungan merupakan proses penghancuran kehidupan petani. Mitos kelima, bahwa perdagangan bebas dibidang pangan akan menguntungkan konsumen karena banyak pilihan dan harga murah. Kenyataannya, perdangan bebas bidang pangan akan menguntungkan TNCs dan memarginalkan negara Dunia Ketiga karena tidak mampu lagi memenuhi kewajiban konstitusinya dalam bidang keamanan dan persediaan pangan, maupun penghancuran perempuan petani sebagai produsen pangan.

Dengan demikian sesungguhnya sangat strategis bagi perempuan petani untuk senantiasa merebut wacana seperti “globalisasi dan perdagangan bebas,” “corporate farming,” atapun “keamanan pangan” dari pespektif perempuan petani yang lebih berpendirian “kedaulatan pangan” pangan untuk kehidupan dan bukan pangan untuk komoditi dan keuntungan belaka. Namun masalahnya, jangankan memberi warna gender dalam wacana dominan, bahkan saat ini masih ada indikasi kuat yang menunjukkan absennya “pertanyaan gender” dibanyak gerakan petani untuk mempertanyakan bagaimana globalisasi dan perdagangan bebas dibidang pangan akan berakibat negatif bagi petani perempuan.



Bagaimana Nasib Kaum Perempuan di Bawah Kebijakan Neoliberal?


Kaum perempuan adalah korban pertama dari kebijakan neoliberal. Kaum perempuan, khususnya petani perempuan, adalah korban terbesar dari kebijakan neoliberal bidang pangan yang intinya adalah merebut urusan pangan dari tangan kaum perempuan. Oleh karena itu tugas pertama yang penting justru melakukan counter terhadap hegemoni mitos-mitos tentang perempuan seperti yang telah disebutkan di atas.

Tanpa mempersoalkan pemikiran tersebut sejak awal, apa akibat dan implikasi liberalisasi perdagangan pangan dan nasib petani perempuan, maka gerakan petani “berutang pada petani perempuan.” Pendeknya, setiap perjuangan gerakan petani yang tidak menghiraukan akibatnya terhadap perubahan relasi kekuasaan atara petani lelaki dan petani perempuan, gerakan tersebut sesungguhnya belum menuntaskan permasalahan warisan yang telah lama ada dikehidupan petani. Bahkan tanpa mempersoalkan relasi gender terlebih dahulu, gerakan petani tidak saja akan melanggengkan salah satu bentuk ketidakadilan sosial tertua dan oleh karenanya menjadi bagian dari masalah. Sekali lagi tanpa pertanyaan gender, bagi petani perempuan, gerakan petani lebih menjadi masalah ketimbang sebagai solusi. Banyak perempuan petani yang mengeluh justru pada saat mereka telah berhasil bersama-sama petani laki-laki melakukan aksi sepihak mereklamasi, merebut kembali tanah-tanah mereka, namun karena alasan tradisi yang tidak memungkinkan perempuan petani untuk memiliki tanah, maka gerakan mereka berakhir dengan memarginalisasikan petani perempuan. Dengan kata lain, tanpa mempertimbangkan implikasi gender, suatu perjuangan dan gerakan petani dalam memperjuangan hak-hak petani, maupun dalam memperjuangkan reformasi agraria, akan melanggengkan ketidakadilan bagi petani perempuan. Bahkan penderitaan yang dialami oleh perempuan petani akibat diskriminasi dan perlakuan tidak adil yang ditimbulkan akibat dari relasi gender dikalangan petani berakibat negatif sama seriusnya dirasakan oleh perempuan petani seperti yang yang mereka rasakan yang diakibatkan oleh kejahatan dan kekerasan yang ditimbulkan oleh neoliberalisme.

Oleh karena itu gerakan petani perlu secara simultan membenahi dan mendemokratisasikan “relasi gender” yang ada dalam gerakan petani, dan yang terpenting melakukan proses demokratisasi relasi gender yang ada di masing-masing rumah tangga petani. Cukup banyak kasus yang menunjukkan bahwa Organisasi Tani Perempuan tingkat lokal mempunyai peran penting dalam berbagai aksi pengambilan kembali tanah mereka dari perkebunan. Akan tetapi ketika tanah-tanah itu harus didistribusikan kembali kepada para petani, betapa kecewanya para perempuan petani karena struktur rumah tangga dan relasi gender para petani yang tidak demokratis dan tradisi di masyarakat petani yang tidak memberikan hak bagi kaum perempuan atas tanah, telah mengakibatkan marginalisasi perempuan petani lantaran mereka tidak mempunyai akses dan kontrol atas tanah. Dengan demikian, tanpa membongkar terlebih dahulu sistem patriarki yang ada di masyarakat petani dan tanpa menata kembali relasi gender di rumah tangga para petani masing-masing, setiap gerakan aksi untuk reformasi agraria akan dilumpuhkan oleh ketidakadilan gender yang secara sistematik dan kokoh berada di masyarakat petani. Oleh karena itu, tugas gerakan petani terlebih dahulu adalah adalah melakukan proses demokratisasi terhadap relasai gender di rumah tangga masing-masing sebagai bagian yang tak terpisahkan dari gerakan untuk memberdayakan dan mencapai hak-hak petani.







Mengapa Neoliberalisme Antisubsidi terhadap Kaum Miskin?


Akhir akhir ini, banyak orang bicara tentang subsidi. Subsidi menjadi topik aktual yang banyak dibahas diberbagai seminar, diiklankan di tv, dibicarakan dalam siaran langsung perbincangan di tv dan radio, bahkan ada demonstrasi mahasiswa menentang pemotongan subsidi. Pokok pembahasan dan pendirian sekitar subsidi juga bermacam-macam, mulai dari potong subsidi, siapa yang berhak menerima dan tidak, bahkan ada yang berpendapat pada pokoknya subsidi itu buruk dan jahat. Pemotongan subsidi negara terhadap berbagai barang ini mengakibatkan harga-harga naik. Mengapa subsidi kepada rakyat miskin tiba-tiba dipermasalahkan oleh penganut neoliberal? Untuk itu, dalam bagian ini saya akan bahas persoalan seputar subsidi, mulai dari apa hakikat subsidi dan siapa, serta atas dasar alasan apa subsidi dipermasalahkan?

Paham ekonomi yang diterapkan di negeri kita saat ini adalah sistem kebijakan ekonomi neoliberal. Bagaimana ekonomi harus dijalankan dan peran negara dibidang ekonomi didominasi oleh pemikiran yang percaya bahwa pertumbuhan ekonomi hanya akan dicapai melalui “kompetisi bebas.” Kompetisi bebas adalah hakikat dari “pasar bebas,” dan bagi mereka, pasar bebas itu efisien, dan itulah cara yang tepat untuk mengelola sumber daya alam yang langka untuk memenuhi hajat orang banyak. Bagi penganut paham ini, menyingkirkan apa saja yang menghalangi terjadinya kompetisi bebas adalah prasyarat bagi tegaknya pasar bebas.

Para panganut paham pasar bebas percaya bahwa negara dan pemerintah harus memerankan peran sebagai wasit ekonomi untuk menegakkan pasar bebas. Negara dan pemerintah yang menjalankan tugas “wasit pasar bebas” secara baik disebut memiliki “good governance.” Dalam konsep good governance, negara dan pemerintah dilarang “ikut campur” urusan ekonomi, dan negara harus menyerahkan urusan pada bekerjanya mekanisme dan hukum pasar. Paham proteksionisme dan paham sosial kerakyatan seperti tradisi pengelolaan sumber daya alam berbasis rakyat dan sebagainya harus dihapuskan. Untuk itu mereka memerlukan suatu strategi akumulasi kapital yang baru, yakni dengan menegakkan kembali “pasar bebas.” Dalam kaitan itulah mereka mulai melancarkan serangkaian aksi politik ekonomi, sosial dan budaya untuk penyingkiran segenap rintangan terhadap pasar bebas. Apa yang dianggap menghalangi pasar bebas seperti pelanggaran paten dan hak milik intelektual, deregulasi perdagangan, segenap bentuk proteksi serta penghapusan terhadap subsidi rakyat, merupakan penghambat pasar bebas dan pertumbuhan ekonomi.

Selain privatisasi dan deregulasi ekonomi, pemotongan subsidi, merupakan elemen penting kebijakan neoliberal untuk menjamin persaingan bebas terjadi. Pemotongan subsidi ini dilakukan oleh pemerintah karena tekanan dari rezim neoliberal global. Saat ini seharusnya banyak orang harus menjadi sadar bahwa pada prinsipnya, membicarakan persoalan pemberian subsidi, dan naiknya harga BBM, TDL, tarif telepon, ternyata bukan karena salahnya sasaran penerima subsidi seperti yang sering kita dengar, tetapi karena tekanan untuk menyesuaikan dengan harga pasar. Alasan utama bukan sesederhana argumen siapa yang seharusnya berhak mendapat subsidi dan siapa yang tidak berhak. Tetapi lebih dari itu, ini menyangkut persoalan bekerjanya mekanisme harga sesuai hukum pasar. Kalau prinsip dasar subsidi negara pada rakyat dihilangkan, lantas orang akan berpikir, untuk apa didirikan negara? Bukankah negara didirikan justru untuk melindungi rakyat warga negara dari segala bentuk ancaman dan tantangan. Apa lagi kalau kalau orang meluaskan pemahaman tentang hak asasi manusia, dan itu berarti ekonomi adalah juga hak asasi manusia, pendidikan adalah hak anak-anak, dan hak anak-anak adalah juga hak asasi manusia, dan kalau pangan adalah juga hak asasi manusia, maka justru tugas negara untuk memproteksi, melakukan pembelaan terhadap kemungkinan pelanggaran hak rakyat atas pangan, pelayanan sosial dan sebagainya. Jika begitu, justru “subsidi” kepada rakyat adalah merupakan kewajiban negara.





Bagaimana Peran Negara Menurut Neoliberalisme?

Rakyat selalu dikecewakan oleh negara. Sejak kita sepakat bernaung di bawah Republik Indonesia hingga saat ini, belum pernah negara memenuhi janjinya bagi perlindungan hak hak dasar manusia. “Developmentalisme,” suatu era yang dibangun di atas paham bahwa negara maupun pemerintah harus bertanggung jawab terhadap pertumbuhan ekonomi dan memimpin pembangunan ekonomi juga menghasilkan kekecewaan dan trauma antipati terhadap negara. Padahal Model pembangunan atau State-led develoment ditetapkan sebagai alternatif sejak krisis liberalisme pada zaman kolonialisme tahun 1930-an. Sejak saat itu, negara diberi peran untuk menjadi aktor utama atau diberi wewenang sebagai pengendali ekonomi dan politik. Namun, pada saat yang sama, negara juga harus bertanggung jawab untuk melindungi, mensubsidi, dan bertanggung jawab atas kesejahteraan rakyat. Lebih lanjut negara bertanggung jawab untuk mencegah setiap bentuk pelanggaran HAM. Pada era developmentalisme, negara-negara menetapkan bahwa “pembangunan” adalah hak asasi, sehingga sering kita dengar istilah “The Rights to Development.” Oleh karenanya, peran negara sebagaimana ditetapkan oleh PBB adalah melakukan proteksi, prevensi, dan promosi” warga negara atas HAM. Di era itu, ratifikasi konvensi PBB menjadi tolok ukur indikator kebudayaan suatu bangsa. Namun demikian sesunguhnya puncak gemilang prestasi negara adalah pada saat negara-negara berhasil membentuk PBB sebagai lembaga untuk perlindungan HAM tingkat internasional. Pada saat itulah mula pertamanya negara tidak saja berhasil merebut kekuasaan ekonomi dari tangan pahan kapitalisme liberal, tapi juga kekuasaan politik secara internasional.

Cerita di atas sebenarnya menunjukkan prestasi dan indikasi kekuatan negara dan akibat menguatnya peran negara, bahkan tingkat internasional berakibat semakin memperkecil ruang kapitalisme liberal terutama Multinational Corporations (MNCs) dan Transnational Corporations (TNCs) menjadi semakin dibatas ruang geraknya. Banyak hal yang dulu dianggap barang publik dan bisa diperoleh secara gratis, saat ini dianggap sebagai komoditi yang tidak gratis lagi, seperti air, pangan, kesehatan, pendidikan, bahkan pelayanan sosial. Pendidikan dulu dianggap sebagai hak anak, demikian pula kesehatan reproduksi adalah hak perempuan, dan negara berkewajiban untuk menyediakan pelayanan dasar tersebut. Monopoli negara untuk pemenuhan kebutuhan dasar dan layanan publik sebagai bagian dari HAM, membuat negara menguasai sumber daya alam untuk kesejahteraan rakyat dan negara mendapat legitimasi untuk melakukan subsidi kepada rakyat, dengan meregulasi harga.

Negara, melalui perusahaan negara (BUMN), selanjutnya melakukan usaha demi untuk menyejahterakan rakyat, seperti yang diamanatkan oleh konstitusi negara. Kakuasaan negara untuk mengontrol sumber daya alam dan ekonomi inilah yang saat ini tengah digugat oleh paham neoliberalisme, yang memperjuangkan kembali berlakukanya pasar bebas dan mendesak negara untuk melepaskan kekuasaan mereka atas ekonomi, dan menuntut agar hukum pasar dan persaingan bebas yang mengaturnya. Melalui kampanye privatisasi dan potong subsidi, banyak negara saat ini tidak mampu lagi melaksanakan amanat konstitusi untuk melindungi (memproteksi) rakyatnya. Agar negara tidak merasa bersalah karena melanggar amanat konstitusi, maka rezim pasar bebas mendesak negara untuk melakukan amandemen konstitusi supaya sesuai dengan pendirian pasar bebas.

Selain pertikaian antara paham liberalisme dan negara untuk memperebutkan ekonomi, sejarah perkembangan HAM sebelumnya sudah diwarnai oleh pertikaian kepentingan antara negara Barat pendukung paham liberal yang menekankan hak-hak sipil dan politik yang berwatak individualis, yang dikenal sebagai generasi pertama HAM. Sementara itu negara-negara blok sosialis, yang memperjuangan hak ekonomi, sosial, ekonomi dan budaya sebagai bagian dari HAM, dan agenda ini dikenal sebagai HAM generasi kedua. Semakin menguatnya negara-negara bekas jajahan memperjuangkan HAM, telah melahirkan “generasi ketiga” HAM yakni hak atas pembangunan, bebas dari penggusuran, yang kini sudah diakui sebagai hak asasi manusia. Namun model pembangunan yang bertumpu pada negara akhir-akhir kini tengah mendapat tantangan.

Namun ironisnya, runtuhnya pembangunan dan paham state-led development, tidak ditangisi oleh rakyat sama sekali. Bahkan banyak bukti yang menunjukkan bahwa rakyat justru ikut merendahkan dan memasung kewenangan negara, institusi yang seharusnya menjadi pelindung rakyat sendiri. Rakyat sudah sangat marah dan trauma oleh kesewenang-wenangan aparat negara yang ditunjukkan rezim Orde Baru selama 32 tahun. Rakyat sudah muak dengan janji dan retorika pembangunan untuk mensejahterakan dan melindungi kepentingan rakyat, namun kenyatannya justru pembangunan menjadikan rakyat sebagai korban pembangunan. Pembangunan bagi rakyat tidak lebih dari penggusuran tanah demi untuk pembangunan proyek-proyek mercusuar, penangkapan, penghilangan paksa, dan pembunuhan.

Runtuhnya paham state-led development dan krisis yang dialami negara, justru dirayakan oleh rakyat sebagai kemenangan. Namun kegembiraan rakyat ternyata tidak berlangsung lama. Terlebih-lebih sejak negara kita menjadi anggota WTO sekaligus menjadi pasien IMF, terutama setelah meratifikasi sejumlah konvensi HAM PBB, Indonesia menghadapi situasi yang sangat membingungkan. Di satu pihak, karena kita terikat pada konvensi penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan, dan konvensi hak anak, kita harus berjuang untuk memenuhi hak-hak reproduksi perempuan dan hak-hak anak, namun di pihak lain, kita dipaksa oleh suatu mekanisme struktur global akibat jeratan utang untuk meratifikasi konvensi-konvensi tarif dan perdagangan bebas di bawah perjanjian WTO, dimana konvensi-konvensi WTO sesungguhnya bertentangan secara prinsipil dengan semangat konsep HAM konvensi PBB. Proses untuk menyesuaikan kebijakan ekonomi nasional untuk diintegrasikan ke dalam sistem ekonomi global yang berprinsip neoliberalisme ini yang disebut sebagai proses “globalisasi.”

Pada akhirnya, proses globalisasi inilah yang memungkinkan TNCs mengontrol kebijakan proteksi negara dan mengubahnya menjadi aturan yang mempermudah TNCs untuk mengambil alih sumber daya alam. Banyak kebijakan neoliberal telah diimplementasikan di Indonesia, seperti pemotongan subsidi negara dan pembebasan tarif bagi produk pertanian, privatisasi perusahaan-perusahaan negara, perguruan tinggi, serta pelayanan kesehatan dan pendidikan. Negara juga dituntut untuk mengubah kebijakan publik termasuk hukum atas pajak, ekspor, paten, dan izin pemanfaatan bibit dari rekayasa genetika atau GMO dalam pertanian. Semua kebijakan itu telah diadopsi oleh pembuat undang-undang kita belum lama ini.

Akses ke pasar dan ‘bantuan domestik’ untuk konsumsi perusahaan multinasional demi terwujudnya persaingan global, telah memaksa pemerintah untuk mengubah kebijakan mereka dari subsidi untuk masyarakat miskin kecil beralih ke TNCs agribisnis raksasa. Perubahan kebijakan dan proses ini akan meminggirkan kemampuan petani kecil sebagai produsen pangan dan menggilas mereka denang produk pertanian negara maju yang lebih murah harganya karena mendapatkan subsidi penuh dari negaranya. Bahkan, kebijakan liberalisasi pangan dengan cepat akan mengubah pertanian Indonesia dari model produksi skala kecil ke pertanian industri agribisnis TNCs. Pada saat ini, semua kebijakan untuk memperlancar jalan globalisasi pangan dari negeri kita sudah dipersiapkan dengan pembuatan produk perundang-undangan yang tidak memihak para petani melainkan justru memihak perusahaan agribisnis.

Misalnya saja keputusan untuk mengubah kebijakan investasi asing yang telah diberlakukan sejak tahun 1974 merupakan suatu contoh yang baik dari kebijakan neoliberal dalam investasi. Persetujuan bagi kepemilikan asing 100 persen yang ditetapkan dalam paket deregulasi investasi Juni 1994 menunjukkan perubahan drastis dalam kebijakan investasi asing di Indonesia. Kebijakan deregulasi ini telah menjadikan Indonesia sebagai negara neoliberal. Dalam periode 1995-2004 misalnya, Indonesia telah mengikat 1.341 tariff line untuk produk pertanian di WTO dengan rata-rata (mode) untuk pemotongan tarif mencapai 40 persen. Tujuan utama penurunan tarif ini pada dasarnya adalah untuk semakin membuka akses pasar domestik Indonesia bagi masuknya produk-produk pertanian dan pangan dari luar negeri. Hal ini disebabkan anggapan bahwa proteksi melalui tarif akan menghambat laju perdagangan global.

Kebijakan mengurangi segala bentuk regulasi pemerintah terhadap usaha tersebut dipaksakan untuk dilaksanakan karena pada dasarnya regulasi pemerintah demi untuk memproteksi produsen atau petani lokal akan mengurangi keuntungan mereka. Sementara itu petani akan tersingkirkan sebagai produsen pangan di negeri mereka sendiri. Di Indonesia, liberalisasi perdagangan khususnya dalam bidang pertanian tidak bisa dilepaskan dari peranan Bank Dunia dan IMF. Melalui apa yang dinamakan dengan Structural Adjusment Program (SAP) yang pada tahun 1998, program tersebut dilaksanakan atas nama “membantu Indonesia mengatasi krisis ekonomi” yang terjadi pada tahun 1997. Program tersebut adalah merupakan “paket kebijakan neoliberal” karena mengandung ciri-ciri seperti menghilangkan intervensi pemerintah, privatisasi, liberalisasi perdagangan dan memperlacar serta memperbesar arus modal asing dengan memberikan fasilitas yang lebih banyak.

Dewasa ini, dengan demikian kita telah sepenuhnya memasuki era pasar bebas. Dengan kata lain, negeri kita dengan demikian sesungguhnya telah menjadi negeri neoliberal. Pasar bebas kemudian menjadi kata kunci untuk memecahkan berbagai masalah pertumbuhan ekonomi dan dipercayai sebagai satu-satunya jalan untuk kemakmuran dan pertumbuhan ekonomi. Orang mulai percaya bahwa apa yang dianggap akan menghalangi berlakunya “pasar bebas” adalah sesuatu yang menghalangi jalan menuju kemakmuran dan oleh karena itu harus segera disingkirkan.

Sekarang, nasi telah menjadi bubur. Sulit untuk diingkari bahwa negara kita telah mengadopsi sepenuhnya kebijakan neoliberal, suatu kebijakan yang sesungguhnya tidak memihak pada rakyatnya sendiri. Sebagai bukti hampir semua kebijakan pasca krisis dibidang ekonomi dan pertanian di negeri ini telah sepenuhnya menjadi negara neoliberal. Dibidang agraria misalnya kebijakan yang erat kaitannya dengan pangan telah direformasi menuju pada kebijakan pangan neoliberal. Banyak produk perundang-undangan yang diciptakan demi untuk mendukung atau menciptakan iklim persaingan bebas. Misalnya saja UU Pengairan No.11 (1974); UU Kehutanan No.41 (1999); dan UU Transmigrasi (1997) merupakan undang-undang yang diciptakan demi untuk menarik minat investasi dibidang pertanian; UU Pelestarian Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya No.5 (1990); UU Sistem Budidaya Tanaman No.12 (1992); UU Pengelolaan Lingkungan Hidup No.23 (1997); UU Kesehatan No.23 (1992); dan UU Perlindungan Varietas Tanaman No.29 (2000), semuanya merupakan undang-undang yang menjamin untuk melindungi kepentingan perusahaan agribisnis yang menanamkan modal mereka dalam bidang pangan di negeri ini.

Sebaliknya, proses untuk memandulkan UUPA 1960 terus berlanjut, terlebih-lebih ketika kita telah memasuki era neoliberal, undang-undang agraria yang memiliki semangat melindungi dan lebih memihak hak-hak petani (semangat populisme) tersebut terancam akan di amandemen, bahkan dilenyapkan karena semangat undang-undang tersebut bertentangan dengan pendirian neoliberalisme. UUPA 1960 sesungguhnya sudah dibatasi, yakni hanya diberi wewenang mengatur hak-hak atas tanah tidak lebih dari 30 persen luas seluruh daratan Indonesia. Sementara itu sekitar 70 persen tanah di Indonesia diatur lewat UU Pokok Kehutanan 1967 yang telah diperbarui pada tahun 1999. Dengan demikian UUPA 1960 sesungguhnya selama ini telah dikhianati, oleh karena itulah hak-hak petani atas lahan sebenarnya sudah punah sejak munculnya UU sektoral di dibidang Kehutanan. Akibatnya sekitar separuh (lebih dari 48 persen) lahan pertanian yang ada merupakan areal sawah yang luasnya tidak lebih dari 0,5 ha. Oleh karena itu mayoritas petani sesungguhnya adalah petani gurem yang menjalankan usaha tani yang tidak ekonomis, disinsentif, sehingga tidak heran banyak petani gulung tikar dan pindah ke kota-kota besar menjadi kaum urban untuk beralih profesi di sektor informal (menjadi pedagang asongan, kuli bangunan, tukang becak, buruh kasar, dll.) yang juga tanpa perlindungan negara.

Lebih lanjut, kita sesungguhnya dapat mengenali apakah negara kita sudah betul-betul menjadi negara neoliberal atau masih konsisten sebagai negara seperti yang dicita-citakan oleh pendiri republik ini, yakni negara merdeka yang bercita-cita menghentikan segala bentuk penjajahan dan melindungi dan membebaskan rakyat miskin dari jerat dan kebijakan yang memiskinkan. Dengan kalimat lain, kita sesungguhnya mudah menilai apakah negera kita merupakan negara penganut kapitalisme liberal atau masih setia pada semangat proklamasi 1945, juga dapat ditelaah pada kebijakan ekonomi, kebijakan pertanian, maupun kebijakan terhadap pengelolaan sumber daya alam. Pertanyaan kunci di sini adalah, kepada siapa sesungguhnya segenap kebijakan ekonomi, pertanian maupun pengelolaan sumber daya alam yang dibuat pemerintah dipersembahkan. Apakah suatu kebijakan dibuat demi untuk melindungi para petani dan warga miskin atau kebijakan dibuat justru demi memudahkan perusahaan agribisnis dan pemilik modal raksasa melenggang untuk melakukan investasi dan mengeruk keuntungan sebesar-besarnya di negeri ini? Kebijakan ekonomi dan kebijakan pengelolaan sumber daya alam merupakan indikator penting untuk mengukur komitmen tersebut. Untuk itu dalam bagian ini saya mengajak Anda untuk melihat lebih dekat terhadap kebijakan pangan kita dalam rangka menilai apakah negeri ini merupakan negeri yang masih berpihak pada petani dan rakyat miskin ataukan kita sudah menjadi negeri neoliberal yang memihak pada korporasi agribisnis raksasa tingkat global.


Kebijakan yang mengatur pangan di negeri kita dituangkan dalam undang-undang No.7/1996. “Pangan” dalam undang-undang tersebut diartikan sebagai segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan atau pembuatan makanan atau minuman. Undang-undang Pangan tersebut pada prinsipnya memuat hal-hal yang menyangkut keamanan pangan (food security), seperti sanitasi, bahan tambahan, rekayasa genetika, dan iradiasi pangan, kemasan, jaminan mutu, dan pemeriksaan laboratorium serta pangan tercemar. Namun bagi kaum petani dan rakyat miskin, istilah “kedaulatan pangan” atau kedaulatan rakyat atas pangan lebih mencerminkan cita-cita keadilan sosial dibanding dengan istilah “ketahanan pangan,” dimana istilah tersebut saat ini telah rebut dan diberi makna sebagai liberalisasi pengadaan dan perdagangan pangan dalam perspektif neoliberal. UU No.7/1996 tentang Pangan mendefinisikan ketahanan pangan sebagai “kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau. “Dengan mudah” di sini bisa dipahami dalam mekanisme hukum “penawaran dan permintaan.” Dengan demikian hakikat pangan dalam undang-undang tersebut tidak lagi merupakan hak asasi, akan tetapi pangan sudah dianggap sebagai komoditi.


Undang-undang pangan kita itu juga mengatur mengenai mutu dan gizi pangan, pelabelan, dan iklan pangan, yang semua itu selain tidak akan terjangkau dan terpenuhi oleh petani, tetapi hanya akan dapat dipenuhi oleh perusahaan agribisnis global. Dan pada bagian akhir undang-undang tersebut juga diatur mengenai tanggung jawab industri pangan, ketahanan pangan, peran serta masyarakat. pengawasan dan ketentuan pidana; terakhir sekali memuat ketentuan peralihan serta ketentuan penutup.

 


Undang-undang pangan ini sesuai benar dengan apa yang diinginkan perusahaan agribinis global. Padahal komodifikasi pangan—yakni menjadikan pangan sebagai komoditi bagi negeri yang sebagian besar penduduknya petani—merupakan ancaman bagi hak asasi manusia para petani. Sekali lagi perlu ditegaskan bahwa pangan pada dasarnya adalah hak asasi manusia, bukan komoditi. Tampaknya ideologi dan semangat yang dianut undang-undang tentang Pangan No.7/1996 adalah liberalisasi perdagangan pangan. Kalau demikian adanya, undang-undang pangan tersebut lebih memberikan perlindungan bagi perusahaan agribisnis bidang pangan, karena hanya mereka yang akan dapat memproduksi komoditi sesuai dengan standar internasional yang mereka ciptakan sendiri tersebut, tetapi pada saat yang sama mengorbankan jutaan petani dan perlindungan, pemenuhan, pemajuan dan penghormatan hak atas pangan rakyat miskin.

Lahirnya undang-undang tentang pangan tersebut dengan demikian lebih demi keperluan untuk mmenciptakan kondisi tumbuhnya industri pangan menjadi industri modern yang siap bersaing di pasar global, pada saat yang sama mengundang investor bidang pangan dari korporasi global. Akibatnya, para petani kecil dan kaum perempuan sebagai mayoritas produsen pangan kecil—yang memproduksi pangan sekedar untuk pemenuhan kebutuhan keluarga—akan segara tersingkir. Hanya petani besar yang didukung modal besar saja yang akan sanggup memenuhi tuntutan ke arah usaha pertanian dengan logika efisiensi dan produktivitas. Sehingga nantinya yang akan sanggup bertahan sebagai produsen pangan hanyalah kelompok minoritas industri pangan bermodal raksasa yang memiliki teknologi dan manajemen modern dalam suatu sistem produksi industrial yang berorientasi pada pasar ekspor.

Dengan demikian, semangat kebijakan pangan kita sesungguhnya tidak memihak pada petani miskin. Dalam konsiderannya undang-undang pangan kita secara eksplisit mengakui bahwa pangan adalah “komoditi.” Konsideran tersebut senafas pula dengan substansi pasal 3 ayat 2, bahwa tujuan pengaturan, pembinaan, dan pengawasan pangan, salah satunya adalah menciptakan arena persaingan bebas dalam perdagangan pangan. Itulah makanya dalam undang-undang tersebut ditetapkan berbagai persyaratan (persyaratan sanitasi, sertifikasi, dan persyaratan lainnya yang tidak mungkin dijangkau oleh petani kita, tetapi segenap persyaratan tersebut selain dimaksud untuk menjadi daya tarik bagi perusahaan agribisnis global untuk menanamkan modal mereka di sawah sawah kita, semua persyaratan sanitasi dan sertifikasi tersebut juga lebih untuk memenuhi konsumen pasar pangan di negara maju. Undang-undang ini nantinya akan menjadi mesin pembunuh yang memusnahkan pengusahan dan petani kecil yang bergerak dibidang pangan. Kalau demikian adanya, saat ini kita tengah menyaksikan suatu pelanggaran HAM berat yakni penyingkiran hak-hak ekonomi petani kecil sebagai produsen pangan secara sistematis. Penggusuran petani kecil dari sawah, penyingkiran petani kecil dan kaum perempuan dibidang penyedia pangan merupakan suatu bentuk kejahatan yang dalam perdebatan hak asasi manusia tergolong sebagai cultural genocide.[1]

Dengan demikian, kebijakan pangan kita ditambah dengan berbagai kebijakan pengelolaan suber daya alam, seperti kebijakan privatisasi air yang memiliki semangat neoliberal tersebut telah menyumbang proses pemiskinan para petani dan masyarakat miskin lain. Jadi sekali lagi, bahwa kemiskinan yang dialami oleh para petani dan kaum miskin kota, bukanlah kesalahan mereka. Oleh karena itu untuk memperjuangkan agar petani bebas dari kemiskinan, maka pertama yang harus dibenahi adalah membebaskan pertanian kita dari kebijakan neoliberal. Namun demikian kebijakan neoliberalisme sesungguhnya bukanlah satu-satunya yang membuat petani menjadi miskin. Masih ada lagi proses yang menyumbangkan pemiskinan petani terutama petani perempuan, yakni keyakinan dan ideologi gender yang masih subur dan berkembang di masyarakat pedesaan. Oleh karena itu perlu secara simultan para petani miskin selain berjuang untuk membenahi dan membebaskan semua kebijakan pertanian negara dikuasai oleh kebijakan neoliberal, para petani juga harus mendemokratisasikan “relasi gender” yang ada dalam gerakan petani, dan yang terpenting melakukan proses demokratisasi relasi gender yang ada di masing-masing rumah tangga petani. Cukup banyak kasus yang menunjukkan bahwa perjuangan untuk merebut hak petani atas tanah, para petani Perempuan mempunyai peran penting dalam berbagai aksi pengambilan kembali hak tanah mereka dari perkebunan. Akan tetapi ketika tanah-tanah itu harus didistribusikan kembali kepada para petani, betapa kecewanya para perempuan petani karena struktur rumah tangga dan relasi gender para petani yang tidak demokratis dan tradisi di masyarakat petani yang tidak memberikan hak bagi kaum perempuan atas tanah, telah mengakibatkan marginalisasi perempuan petani lantaran mereka tidak mempunyai akses dan kontrol atas tanah. Dengan demikian, tanpa membongkar terlebih dahulu sistem patriarki yang ada di masyarakat petani dan tanpa menata kembali relasi gender di rumah tangga para petani, setiap gerakan aksi untuk reformasi agraria akan dilumpuhkan oleh ketidakadilan gender yang secara sistematik dan kokoh berada di masyarakat petani. Oleh karena itu, tugas gerakan petani terlebih dahulu adalah melakukan proses demokratisasi terhadap relasai gender di rumah tangga masing-masing sebagai bagian yang tak terpisahkan dari gerakan untuk memberdayakan dan mencapai hak-hak petani.

Secara lebih tegas bahkan perempuan petani perlu mendekonstruksi berbagai mitos liberalisasi perdagangan pangan, dan merebut kembali hak penyedia pangan ke tangan petani perempuan. Berbagai mitos tersebut meliputi: Pertama mitos bahwa dengan perdagangan bebas akan menjamin pangan murah dan keamanan pangan pun akan terjamin. Kenyataannya perdagangan bebas bidang pangan akan menaikan harga pangan. Kedua, bahwa WTO dan TNCs akan mempoduksi pangan yang aman. Kenyataannya dengan rekayasa genetika dan penggunan pestisida dan racun kimia untuk efesiensi berbahaya bagi manusia. Ketiga, bahwa kaum perempuan akan diuntungkan oleh pasar bebas pangan, kenyataannya, perempuan petani akan tersingkir baik sebagi produsen maupun konsumen. Keempat, bahwa paten akan melindungi inovasi dan pengetahuan, kenyataaannya, paten dan hak kekayaan intelektual dibidang mikro-organisme dan germplasma, selain melegalisasi pencurian keanekargaman hayati petani serta bibit dan menjualnya kembali pada petani demi keuntungan merupakan proses penghancuran kehidupan petani. Kelima, bahwa perdagangan bebas dibidang pangan akan menguntungkan konsumen karena banyak pilihan dan harga murah. Kenyataannya, perdangan bebas bidang pangan akan menguntungkan TNCs dan memarginalkan negara karena tidak mampu lagi memenuhi kewajiban konstitusinya dalam bidang keamanan dan persediaan pangan, maupun penghancuran perempuan petani sebagai produsen pangan.

Dengan demikian sesungguhnya sangat strategis bagi perempuan petani untuk senantiasa merebut wacana seperti globalisasi dan perdagangan bebas, corporate farming, ataupun keamanan pangan dari perspektif perempuan petani yang lebih berpendirian “kedaulatan pangan” pangan untuk kehidupan dan bukan pangan untuk komoditi dan keuntungan belaka. Namun masalahnya, jangankan memberi “warna gender” dalam wacana dominan, bahkan saat ini masih ada indikasi kuat yang menunjukkan absennya “pertanyaan gender” dibanyak gerakan petani untuk mempertanyakan bagaimana globalisasi dan perdagangan bebas dibidang pangan akan berakibat negatif bagi petani perempuan.

Dalam praktiknya, usaha menegakkan kembali pasar bebas dilakukan dengan jalan mengatur negara dan pemerintah untuk ikut campur dalam urusan perburuhan, investasi, penetapan harga, serta memberikan ruang gerak seluas-luasnya bagi aktor ekonomi, seperti kaum industrialis untuk mengatur diri sendiri dan menyediakan kawasan pertumbuhan, seperti NAFTA, AFTA SIJORI, BIMPEAGA dan lain sebagainya. Sebaliknya, negara dan pemerintah harus menghentikan semua bentuk “subsidi” kepada rakyat karena subsidi selain dianggap bertentangan dengan prinsip pasar bebas dan kompetisi bebas, juga bertentangan dengan prinsip “singkirkan campur tangan negara dan pemerintah” dibidang ekonomi. Oleh karena itu pemerintah saat ini tengah melakukan privatisasi semua perusahaan negara, seperti listrik, telpon, rumah sakit, televisi, radio, universitas, dan lain sebagainya. Alasan privatisasi BUMN tersebut lebih dikarenakan keyakinan para pendukung paham pasar bebas seperti IMF, Bank Dunia, perusahaan transnasional dan multinasional, bahwa perusahaan negara dianggap sebagai usaha terselubung untuk melaksanakan subsidi negara kepada rakyat, dan kalau begitu menghambat pasar dan persaingan bebas.

Arsitektur tata dunia pasar bebas ini ditetapkan dalam deklarasi “The Washington Consensus,” yang diikrarkan di Amerika tahun 1980-an oleh para pembela ekonomi pasar bebas yang terdiri dari wakil dari perusahaan-perusahaan besar transnasional, Bank Dunia dan IMF serta wakil negara kaya. Ajaran The Washington Concensus tersebut, intinya adalah apa yang mereka sebut sebagai “reformasi” ekonomi dengan kebijakan pasar bebas era neoliberalisme. Kesepuluh ajaran neoliberal tersebut adalah sebagai berikut. Pertama, “disiplin fiskal.” Kebijakan ini intinya memerangi defisit perdagangan. Kedua, public expenditure atau anggaran pengeluaran untuk publik. Kebijakan ini berupa prioritas anggaran belanja pemerintah melalui pemotongan segala macam subsidi. Ajaran ketiga, pembaharuan pajak, seringkali berupa pemberian kelonggaran bagi para pengusaha untuk kemudahan pembayaran pajak seperti tax holiday. Keempat, liberalisasi keuangan, yakni berupa kebijakan bunga bank yang ditentukan oleh mekanisme pasar. Kelima, penciptaan standar nilai tukar uang yang kompetitif, yakni berupa kebijakan untuk melepaskan nilai tukar uang tanpa kontrol pemerintah. Keenam, menyangkut trade liberalisastion, yakni kebijakan untuk menyingkirkan segenap yang menganggu perdagangan bebas, seperti kebijakan untuk mengganti segala bentuk lisensi perdagangan dengan tarif dan pengurangan bea tarif. Ketujuh, foreign direct investment, yakni kebijakan untuk menyingkirkan segenap aturan pemerintah yang menghambat pemasukan modal asing. Kedelapan, privatisasi, yakni kebijakan untuk memberikan pengelolaaan semua perusahaan negara kepada pihak swasta. Kesembilan, deregulasi kompetisi dan ajaran, dan kesepuluh berupa intellectual property rights, atau paten, yakni perlindungan hukum terhadap barang produk yang dipasarkan.



Apakah Neoliberalisme Juga Menjadi Ancaman bagi Anak anak?


Banyak kejadian sehari-hari yng membuat banyak orang yang peduli masalah hak-hak asasi manusia adalah, semakin meningkatnya bentuk-bentuk pelanggaran hak anak di depan mata. Setiap pagi, di beberapa sudut perempatan jalan kota-kota besar, kita menyaksikan bagaimana anak-anak kecil yang harusnya duduk manis di bangku sekolah terpaksa meminta-minta dan dipaksa mengemis orangtuanya. Ditempat lain, kita masih melihat anak-anak remaja putus sekolah dan terpaksa menjadi pedagang asongan untuk bisa bertahan hidup. Kalau malam tiba, kita juga menyaksikan anak-anak remaja putri yang dilacurkan yang jumlah mereka semakin hari semakin bertambah. Sementara itu, kita tidak pernah menyalahkan negara yang tidak serius mengurusi nasib rakyatnya yang terjerat dalam lingkaran setan kemiskinan, bahkan terkadang negara maupun masyarakat lebih menyalahkan anak-anak korban pelanggaran hak asasi manusia tersebut. Sebagian lagi mereka menyalahkan orang tua anak-anak itu, tanpa sedikitpun merasa ikut bersalah.

Dengan demikian, kita sebagai bagian bangsa dan negara, sesungguhnya hingga saat ini belum sepenuhnya menghormati hak anak-anak Indonesia, anak-anak kita sendiri, darah daging kita dan penerus generasi kita sendiri. Pendek kata, kita sebagai bangsa dan manusia Indonesia, belum mampu mengakui akan hak-hak anak kita sebagai bagian dari hak asasi manusia. Kita belum berani mengakui bahwa anak-anak sesungguhnya adalah juga manusia. Atas nama pembinaan, dengan alasan pendidikan, serta dengan dalih tanggung jawab sebagai orangtua, kita justru masih banyak melakukan proses dehumanisasi, marganisasi, dan penindasan kultural dan struktural pada anak-anak kita sendiri. Bahkan kita menyaksikan ketidaksanggupan mencegah banyaknya kasus penyiksaan orangtua terhadap anak-anak mereka sendiri. Ada indikasi kuat yang menunjukkan anak-anak yang dilacurkan juga meningkat secara tajam. Setiap hari di media massa kita masih terdengar cerita perkosaan orang dewasa terhadap anak-anak (pedofilia) dan berbagai bentuk perbudakan terhadap anak-anak. Demikianlah kualitas kebudayaan kita saat ini, dalam menjaga anak-anak sebagai titipan Tuhan untuk dimuliakan dan dimanusiakan.

Sungguhpun demikian, setiap tahun kita selalu memperingati hari anak-anak nasional dengan megah dan meriah. Tetapi ironisnya, peringatan itu tidak mampu mengubah nasib anak dan hanya mengedepankan aspek formalitas yang buang-buang duit. Secara substansial, nasib anak-anak tidak berubah, mereka disingkirkan dan diasingkan dan tidak dihormat keberadaannya. Suara mereka tidak didengar dalam setiap kebijakan yang menyangkut hidup mereka. Dalam rangka itulah pada kesempatan ini, tanpa seremoni tanpa upacara-upacara, saya ingin mengajak Anda untuk merenung dan melakukan refleksi terhadap apa sebenarnya hakikat anak dan apa sesungguhnya hak-hak asasi anak itu?

Secara umum, pada dasarnya hak anak adalah hak asasi manusia. Hak Anak, seperti yang digambarkan oleh Konvensi PBB tentang Hak-hak Anak, pada dasarnya menyangkut hak hak yang melekat pada anak sebagai karunia Tuhan. Oleh karena itu tidak seorang pun, organisasi, atau bahkan pemerintah, berhak mencabut hak tersebut. Sebaliknya hak-hak yang melekat pada anak wajib dijaga dan dipenuhi, serta diproteksi oleh negara dan masyarakat. Secara sederhana apa yang dimasukkan ke dalam “hak anak” adalah merupakan hak-hak yang wajib diberikan kepada anak. Yang dimaksud sebagai anak dalam konvensi itu adalah manusia yang berumur 18 tahun ke bawah. Mereka yang berumur 18 tahun yakni hak dalam definisi PBB tersebut mendapat hak-hak yang dapat digolongkan menjadi beberapa hak. Pertama, adalah hak-hak untuk hidup dan hak berkembang. Masuk pada hak ini adalah hak untuk mendapat kewarganegaran dan hak untuk mendapat identitas. Jadi akte kelahiran adalah hak. Kalau ada anak Indonesia tak memiliki akte kelahiran, negara bersalah karena melanggar hak asasi manusia anak tersebut.

Kedua, hak untuk mendapatkan pendidikan. Negara berkewajiban untuk menyediakan akses pendidikan bagi setiap anak secara cuma-cuma. Kalau ada orang yang berusia di bawah 18 tidak sanggup bersekolah karena alasan biaya, maka negara dapat disalahkan karena telah melanggar hak asasi manusia. Hak untuk berpartisipasi dalam pembangunan dan terlibat dalam segenap keputusan yang menyangkut mereka. Hingga saat ini masyarakat dan negara kita belum memiliki mekanisme yang memungkinkan suara anak diperhitungkan dalam membuat kebijakan publik yang menyangkut kehidupan mereka. Sudah waktunya negara dan masyarakat memberi ruang bagi anak-anak untuk bebas berorganisasi dan memfasilitasi pendidikan politik mereka, supaya mereka menjadi bagian komponen dari bangsa yang ikut menentukan masa depan bangsa.

Anak dalam visi konvensi hak anak PBB tersebut digambarkan sebagai subyek, anak diposisikan sebagai manusia dan anak adalah makhluk otonom dan merdeka. Mereka adalah manusia yang perlu dilindungi. Visi yang terkandung dalam hak-hak anak PBB tersebut pendeknya adalah bahwa bumi ini harus menjadi surga bagi anak-anak untuk berkembang. Banyak orang dewasa merasa khawatir kalau kita memanjakan anak-anak. Padahal anak-anak seharusnyalah dimanjakan. Kalau kita menghormati dan memuliakan martabat anak-anak itu, susungguhnya bukan karena semata kita terlanjur meratifkasi konvensi hak anak PBB. Namun bagi saya, anak harus tetap kita hargai dan hak-haknya kita proteksi, kalaupun seandainya Indonesia menolak meratifikasi hak anak PBB, ataupun andaikata PBB tidak membuat konvensi hak anak.

Itulah makanya tidak ada konvensi PBB yang begitu luas diratifikasi oleh banyak negara selain konvensi hak anak. Ratifikasi artinya negara telah mengikatkan diri dalam perjanjian internasional untuk menghormati hak-hak anak mereka sendiri. Demikian halnya bagi bangsa Indonesia, pada prinsipnya visi yang terkandung dalam konvensi Hak Anak PBB itu sejalan dengan pandangan hidup, tradisi, dan keyakinan yang dianut oleh bangsa Indonesia yang pada hakikatnya sangat memuliakan dan menghomati anak tersebut. Karena itulah makanya Indonesia termasuk salah satu negara yang cepat meratifikasi konvensi PBB tentang hak anak.

Namun dalam kenyatannya, terdapat indikasi dimana kita sebagai bangsa mempunyai watak ambivalen sehingga disamping memberikan penghormatan pada anak dengan bukti kita telah meratifikasi konvensi internasional itu, namun di lain pihak kita masih menghianati konvensi PBB ini. Hal ini karena sejak kita meratifikasi Konvensi Hak Anak PBB ini, nasib anak Indonesia ternyata tidak lebih baik, dalam arti masih banyak terjadi pelanggaran hak-hak anak. Hak anak untuk mendapatkan pendidikan yang pada dasarnya merupakan hak asasi manusia, bahkan semakin dilanggar, dan ada indikasi pelanggarannya semakin meningkat jika dilihat dari komposisi anggaran APBN kita, yakni Cuma sekitar 6 persen.

Rendahnya anggaran pendidikan bisa dijadikan sebagai indikator rendahnya komitmen kita pada hak anak. Padahal semua orang mulai menyadari bahwa pelanggaran terhadap hak anak untuk mendapatkan pendidikan, pada dasarnya adalah melanggar hak asasi manusia. Sampai saat ini berbagai hak anak masih secara sistemik dilanggar. Sebagaimana dimaklumi, bahwa dalam kaitannya dengan hak asasi manusia, tugas negara adalah, melindungi, memproteksi, mencegah pelanggaran dan mempromosikan hak-hak anak tersebut. Melihat kenyataan terus berlangsungnya pelanggaran hak anak tersebut kita sebagai bangsa, negara, pemerintah, dan sebagai masyarakat, masih belum jelas komitmen kita semua untuk memperjungkan dan melindungi hak anak kita sendiri.

Jika dianalisis, ada beberapa persoalan yang menyebabkan mengapa kita masih melanggengkan pelanggaran hak anak tersebut. Pada dasarnya pelanggaran hak-hak anak disebabkan oleh tiga faktor penyebab yakni, pertama faktor yang menyangkut substansi kebijakan negara Indonesia mengenai komitmen kita terhadap hak anak. Kedua, adalah faktor yang menyangkut struktur dan sistem sosial ekonomi dan kaitannya dengan pelaksanaan kebijakan pendidikan, dan ketiga, faktor kultural yang menyangkut kesadaran budaya masyarakat terhadap perlunya visi pembebasan anak sebagai manusia.

Dalam kaitannya dengan substansi komitmen kebijakan negara terhadap anak masih terdapat permaslahan besar yang menyebabkan pelanggaran hak anak atas pendidikan masih tetap berlangsung. Pertama, kita memang telah meratifikasi konvensi PBB hak anak, tapi itu hanya rativikasi basa-basi belaka. Buktinya, hingga saat ini setelah ratifikasi kita masih belum memiliki undang-undang perlindungan hak anak. Akibat dari tidak adanya undang-undang perlindungan hak anak ini, pemerintah tidak memiliki mekanisme untuk melaksanakan ketentuan konvensi. Kedua, setelah konvensi PBB dirativikasi, negara juga tidak segera menciptakan Komisi Nasional Hak Anak. Komisi yang ada adalah tidak didukung oleh keputusan DPR, tapi berasdal dari kalangan LSM sehingga negara tidak merasa wajib untuk mendukungnya. Itu berakibat tidak adanya komisi nasional yang memantau pelaksanaan hak tersebut secara legal, legitimat dan formal. Yang ketiga, apakah negara juga sudah “mengakui” terhadap komisi hak anak PBB, sehingga memungkinkan komisi tersebut untuk memonitoring pelanggaran kita, dan lebih lebih, instrumen PBB yakni konvensi hak anak tersebut tidak dapat dimanfaatkan untuk melindungi hak asasi anak-anak kita sendiri.

Sebagian besar pelanggaran hak anak bersifat terbuka karena dilakukan secara langsung oleh para pelaku pelanggaran HAM. Misalnya pelanggaran hak anak dalam bentuk pembunuhan dan pemukulan terhadap anak semua orang mudah memahaminya. Akan tetapi pelanggaran yang justru korbannya sangat besar adalah pelanggaran yang bersifat struktural dan sistemik. Pelanggaan ini tidak mudah dikenali baik oleh pelanggarnya maupun oleh korbannya. Inilah pelanggaran hak-hak anak yang disebabkan oleh dan akibat struktur kebijakan negara yang menerapkan kebijakan neoliberal dalam bidang pendidikan. Pelanggaran hak anak jenis ini seringkali akibat dari adanya kontradiksi antara kebijakan negara dibidang perlindungan hak dengan kebijakan lain. Misalnya komitmen penghormatan hak anak bertolak belakang dengan kebijakan ekonomi negara yang tengah mempromosikan liberalisasi perdagangan dan pasar bebas. Menguatnya kebijakan ekonomi pasar bebas ini, berimplikasi terhadap privatisasi perusahaan negara, pemotongan subsidi, persaingan bebas, dan campur tangan pemerintah yang makin kecil dalam soal pasar. Ketika pendidikan dianggap sebagai komoditi, kebijakan pemerintah dibidang pendidikan yang berwatak neoliberal ini akan membuat pendidikan menjadi komoditi yang harus diperdagangkan dalam hukum pasar bebas. Akibatnya, hanya mereka yang punya uang bisa mengakses pendidikan dan mereka yang tidak punya uang akan gigit jari. Pemotongan subsidi terhadap pendidikan, dengan dalih demi pasar bebas, membuat pendidikan semakin mahal dan berakibat bagi anak-anak dari golongan miskin terlanggar hak-hak asasi mereka. Sekali lagi rendahnya anggaran pendidikan di Indonesia merupakan indikasi bahwa pendidikan tidak lagi menjadi prioritas dan komitmen untuk melindungi hak anak juga perlu diragukan.

Sementara itu, para guru sebagai pelaksana pendidikan juga sangat berperan penting dalam proses belajar mengajar. Keyakinan pendidikan para guru yang tersembunyi dalam metodologi pendidikan dan proses belajar mengajar di sekolah masih berangkat dari paham yang meletakkan guru sebagai pusat, guru digugu dan ditiru, dan murid menjadi obyek yang kesemuanya itu memberikan kesan bahwa proses belajar mengajar tak ubahnya seperti proses penjinakan. Tanpa komitmen atas hak anak, kapasitas dalam metodologi pendidikan yang berbasis atas hak anak, serta keterampilan teknik belajar mengajar yang berprinsip penghormatan hak anak, maka sekolah lebih menjadi masalah ketimbang sebagai solusi bagi promosi hak anak. Suasana sekolah yang tidak berwatak demokratis dan membebasakan juga menjadi penghambat atas pelaksanaan hak anak.

Secara kultural promosi tentang perlunya penghormatan hak anak sebagai hak asasi manusia masih perlu dilakukan. Kepekaan masyarakat atas hak anak yang sangat rendah, menyumbang lemahnya tekanan terhadap negara untuk melaksanakan kewajiban konstitusional untuk melindungi hak anak. Dalam suasana seperti itu yang diperlukan adalah kuatnya desakan civil society untuk senantiasa menantang negara, karena masyarakat adalah konstituen negara untuk tetap konsistensi dalam penghormatan atas hak anak. Akhirnya, sudah saatnya masyarakat, pemerintah, dan negara mulai mendengarkan nurani anak, ketika mereka hendak menentukan anggaran negara atau anggaran daerah, ketika sedang membuat perencanaan kota bahkan perencanan pembangunan. Negara dan masyarakat perlu mengembangkan mekanisme agar “suara anak” ataupun kebutuhan anak, didengar dan diperhitungkan dalam setiap kebijakan. Kepekaaan dan penghormatan atas hak anak bahkan perlu didesakkan masyarakat kepada negara setiap mereka hendak menentukan kebijakan publik. Akhirnya Mari kita tetapkan komitmen sekali lagi agar bumi Indonesia menjadi surga, tempat aman, nyaman dan bebas, bagi anak untuk berkembang.



Mengapa Kaum Miskin Harus Menentang dan Menghentikan WTO?

WTO saat ini merupakan organisasi yang paling berkuasa di tingkat internasional. WTO sejak kemunculannya tahun 1990-an menjadi pesaing utama badan dunia PBB. WTO mengemban tugas utama semua kebijakan neoliberal di tingkat global. Kekuasaan WTO untuk mendesakkan agenda kebijakan neoliberal kepada anggota-anggotanya membuat kaum miskin sedunia merasa sudah waktunya menghentikan WTO. Ada banyak alasan mengapa kaum miskin harus menghentikan WTO. Sementara itu PBB harus juga didemokratisasikan untuk tetap menjaga komitmen untuk melindungi hak-hak kaum miskin secara global. Sambil menunggu lahirnya alternatif organisasi global yang sanggup untuk menegakkan semangat demokrasi, keadilan sosial, dan pembebasan, ada baiknya kita tinjau mengapa WTO lebih merupakan masalah ketimbang sebagai jalan keluar.

Alasan pertama, WTO sangatlah berbahaya bagi umat manusia karena WTO lebih mempriortaskan nilai perdagangan dan komersialisasi sebagai nilai dasar dan mengabaikan nilai-nilai lain, keadilan sosial, kemanusiaan, maupun solidaritas umat manusia. WTO merupakan kekuatan yang merendahkan aturan lain yang diinspirasi oleh gagasan solidaritas dan nonkomersial, kaum buruh, kaum miskin, perlindungan lingkungan dan keamanan, HAM, solidaritas manusia dan multikultural, perlidungan manusia maupun binatang. WTO hanya peduli pada kepentingan investasi modal dan perlindungan atas modal korporasi global.



Kedua, WTO merupakan organisasi yang tidak demokratis. WTO Mengabaikan kemungkinan akan keputusan wakil negara atau pemerintah yang secara demokratis merupakan pilihan dari jutaan rakyat, dan menyerahkan keputusan kebijakan ekonomi dunia hanya pada segelintir orang yang mewakili kepentingan TNCs. Kepentingan TNCs sesungguhnya hanya mewakili kepentingan kelompok minoritas umat manusia. Namun kepentingan kelompok minoritas dalam bidang perdagangan dan investasi tersebut mengalahkan perlindungan, proteksi, dan pemenuhan kesejahteraan jutaan rakyat miskin secara global. Negara-negara yang menjadi tempat berlindung kaum miskin diseluruh dunia tidak berdaya menghadapi tuntutan peraturan dan kebijakan WTO. Negara mereka terpaksa harus melanggar dan mengkhianati janjinya pada rakyat, yakni untuk melaksanakan amanat konstitusi untuk menyejahterakan rakyat daripada menghadapi sanksi ekonomi WTO. Itulah kenapa negara-negara tersebut lebih memilih mengamandemen konstitusi dasar sehingga banyak konstitusi berubah melindungi kepentingan TNCs daripada melindungi rakyat kecil.

Alasan ketiga mengapa WTO harus dihentikan, karena badan itu merupakan tatanan imperialisme global yang tidak hanya berkuasa untuk meregulasi ekonomi global, melainkan juga berkuasa mengatur secara aktif perdagangan, investasi global, serta berkuasa memfasilitasi perdagangan dan investasi global di atas kepentingan pembangunan ekonomi maupun kebijakan negara dan pemerintah untuk melindungi hak-hak rakyat maupun negara untuk mandiri.

Kaum miskin harus menghentikan WTO karena badan itu menindas bangsa miskin di belahan bumi bagian Selatan yang jumlahnya jauh lebih besar. Kebijakan WTO memaksa Bangsa dan Negara Selatan untuk membuka paksa pasar mereka pada korporasi multinasional yang berasal dari negara-negara kaya serta menyingkirkan usaha untuk melindungi bayi industri Bangsa dan Negara Selatan yang baru bangkit akibat sejarah panjang kolonialisme. Dibidang pertanian, kebijakan pemaksaan untuk membuka pasar pertanian dan pangan akan menghancurkan kehidupan ekonomi jutaan petani miskin di Negera Selatan.

Tetapi alasan terpenting bagi kaum miskin mengapa mereka harus menghentikan WTO adalah bahwa WTO tidak akan pernah memberi manfaat apa-apa bagi kaum miskin terutama di Indonesia. Sejak Indonesia menjadi anggota WTO pada Januari 1995, Indonesia telah berusaha untuk menjalankan “reformasi kebijakan pertanian dan perdagangan” seperti yang digariskan oleh WTO yakni menuju liberalisasi perdagangan dan pertanian. Hal ini merupakan konsekuensi dari ditandatanganinya kesepakatan tentang keputusan final Putaran Uruguay (Uruguay Round) yang telah melahirkan WTO. Indonesia meratifikasi WTO melalui UU No.7/1994 tentang Pengesahan World Trade Organization/WTO. Pada tahun yang sama, pemerintah Indonesia telah membuat sebuah keputusan sangat penting tentang kebijakan deregulasi investasi tepatnya pada bulan Juni 1994. Sejak saat itu berbagai kebijakan lain seperti kebijakan bidang pangan, air, pertanian dan lain sebagainya, juga disesuaikan dengan pendirian WTO yakni menganut prinsip neoliberalisme dan pasar bebas.

Sejak negara-negara yang menjadi anggota WTO menerapkan kebijakan neoliberalisme sebagai prinsip yang disyaratkan, jumlah kaum miskin di negara-negara tersebut semakin bertambah. Dalam studi Bank Dunia berdasarkan kajian mereka di 23 negara di tahun 1999, dilaporkan bahwa saat ini terdapat 20,000 orang miskin yang setiap tahunnya ketahanan hidup mereka terus menurun selama 10 tahun terakhir. Di awal penerapan sistem ekonomi neoliberal secara global jumlah kaum miskin meningkat secara drastis. Tingkat kesenjangan antara yang kaya dan yang miskin sudah melampau batas kewajaran. Jutaan kaum miskin di Dunia Ketiga berpenghasilan kurang dari 1 dollar sehari.

Ironisnya, di Amerika Serikat gaji para manajer perusahaan besar unggulan (perusahaan blue chip—Peny.) yang mencapai jutaan dollar terus meningkat, sementara gaji para buruh malah semakin merosot. Menurut laporan Institute Policy Studies, para manejer Amerika rata-rata gajinya mencapai 517 kali lipat dari gaji para buruh. Sementara mereka menikmati kekayaan yang tak bisa dibayangkan tersebut, di dunia Selatan, tempat sebagian besar perusahan tersebut beroperasi, 200 juta anak balita menderita kurang turun berat badan akibat kurang gizi. Di negara Dunia Ketiga, 14 juta anak meninggal dunia setiap tahunnya karena penyakit yang seharusnya mudah diselesaikan. 100 juta anak dipaksa menjadi tentara selama tahun 1990, dan 6 juta anak menderita luka parah dalam konflik bersenjata. Di belahan bumi bagian Selatan, tempat di mana keuntungan perusahaan besar itu diakumulasi, 800 juta orang setiap malam pergi ke tempat tidur dengan perut lapar.

Begitu pula di Indonesia, jika pada tahun-tahun menjelang terjadinya krisis ‘kapitalisme negara’ tahun 1993, sekitar 26 juta orang hidup dalam tingkat kemiskinan yang tidak manusiawi, maka pada tahun-tahun pasca krisis antara tahun 1997-99, dimana kebijakan neoliberalisme telah menggilas fungsi dan peran negara kesejahtaraan, jumlah orang miskin meningkat tajam menjadi 130 juta (Sholte, 2000). Atas dasar itu saya semakin percaya, untuk membebaskan kaum miskin dari kemiskinan mereka, tidak ada jalan lain kecuali bebaskan mereka dari kebijakan neoliberalisme.






[1] Penjelasan lengkap tentang gejala cultural genocide ini dapat dibaca dalam Rittner, dkk., (eds.), 2002, Will Gonocide Ever End, Aegis Trust, UK.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar